Kisah Pengungsi Rohingya Menyesal Kabur dari Indonesia demi Australia
Sudah dua minggu hari terakhir, di tengah pembatasan COVID-19, sejumlah aktivis berkumpul di Kangaroo Point Hotel yang dijadikan sebagai tahanan imigrasi untuk 120 pencari suaka.
Mereka menuntut agar pemerintah tidak memindahkan 120 pencari suaka ini ke pusat penahanan imigrasi berkeamanan tinggi di bagian lain Kota Brisbane.
"Respon masyarakat Brisbane sangat menggembirakan dan sejalan berkembangnya gerakan ini, tentu akan lahir perubahan institusional," kata seorang aktivis, Zoe Hulme-Peake kepada ABC.
Ia menjelaskan tujuan aksi mereka adalah menunjukkan dukungan dan solidaritas terhadap mereka yang berada di dalam detensi.
Zoe menuding pemerintah berusaha menutupi apa yang dialami para pengungsi di Brisbane.
Sementara itu juru bicara Islamic Council of Queensland, Ali Kadri, secara terpisah menyatakan para tahanan imigrasi ini telah "dianiaya secara mental".
"Hal ini bertentangan dengan kemanusiaan, bertentangan dengan nilai-nilai Australia," katanya.
Terkait masa depan para pengungsi, juru bicara Kementerian Dalam Negeri mengatakan tak seorang pun yang proses visanya di negara ketiga akan ditempatkan di Australia secara permanen.
Begitu tiba di Indonesia, Abdul langsung ditahan. Selama sembilan bulan. Pengungsi Rohingya itu baru menginjak usia 15
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis
- Digitalisasi untuk Mendorong Pengembangan Pariwisata Indonesia Perlu Dilakukan
- Universitas Bakrie Jadi Jembatan Pengembangan Industri Halal Antara Indonesia dan Filipina