Kisah Petani Cabai saat Harga Melonjak, Tajiirrr

Kisah Petani Cabai saat Harga Melonjak, Tajiirrr
Alexander Mengeanak. Foto: Timek/JPNN.com

"Setelah padi dipanen baru kami menanam cabai di lahan tersebut. Jadi, cabai bukanlah tanaman andalan kami. Ini karena harganya yang tidak stabil. Jika ada hama dan harganya merosot, kami rugi,"ujarnya.

Namun kerugiannya selama ini, terbalasakan ketika harga cabai melambung tinggi seperti sekarang ini. Dia tidak bisa membayangkan, harga cabai tiba-tiba melonjak.

Rata-rata keuntungan yang diperolehnya sebulan mencapai Rp 80 juta. Namun jika turun, maka keuntungannya hanya berkisar Rp 20 juta saja.

Dia cerita, sering panen seminggu sekali. Saat harga melambung, sekali panen meraup Rp 20 juta. Jadi seminggu 20 x 4 = Rp 80 juta, keuntungan bersih. Kalau harganya turun bisa Rp 5 juta sekali panen. Jadi 5 x 4 = Rp 20 juta.

Dia lalu mengkalkulasikan, jika harganya terus melonjak, maka dalam satu musim, dia bisa memanen Rp 480 juta.

"Itu biasanya berlangsung enam bulan. Kalau harganya turun, saya hanya bisa dapat Rp 80 juta per musim saja," ungkap Alexander.

Ketika diajak berdiskusi lebih jauh mengenai apa pemanfaatan dari keuntungan yang diraupnya, dia menegaskan, "Saya memanfaatkannya untuk pendidikan anak-anak saya."

Alexander menikahi Matsaida Lusi pada tahun 1981, dan dari pernikahan itu lahirlah tiga orang putri. Ketiganya kini berhasil mengenyam pendidikan tinggi berkat bercocok tanam cabai yang ditekuninya.

Alexander Mengeanak, petani cabai asal desa Tesa Bela, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, NTT, kini meraup keuntungan ketika harga cabai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News