Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama
Prof Dr Junaidi Mistar
jpnn.com, MALANG - Sebagai seorang yang berasal dari kampung, kisah spiritual saya tentu saja dimulai dari kampung semasa masih kanak-kanak.
Ya, saya belajar mengaji di musala (langgar) kampung di tanah kelahiran saya, yaitu Desa Darungan, Kecamatan Yosowilangun, Lumajang.
Musala itu tak ada namanya, tidak seperti musala sekarang, terutama di kota yang pasti memiliki nama seperti Mushala Ar Rahmah, Mushala Siti Hajar, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, orang kampung memberi nama musala itu sesuai dengan nama kiai atau ustad yang mengajar. Musala tempat saya belajar itu pun disebut Langgar Kiai Sadu. Artinya langgar milik Kiai Sadu. Nama lengkapnya adalah Kiai Sadudin.
Aktivitas pembelajaran dimulai menjelang magrib, sekitar pukul 16.30. Pada saat itu, semua santri yang hanya sekitar 10 orang harus sudah datang ke musala.
Jumlah santri di musala memang tidak banyak. Karena banyaknya jumlah musala di kampung dan biasanya hanya bersifat penyiapan sebelum santri melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren yang lebih besar.
Kegiatan di musala dimulai menjelang magrib. Mungkin karena kiainya baru pulang dari sawah atau tegalnya sore hari itu. Tetapi, mungkin juga karena para santri, termasuk saya, biasanya masih bermain setelah pulang sekolah.
Tentu permainan khas anak desa seperti jenthik, ketapel, kelereng, dan lain-lain. Sayang sekali, permainan-permainan itu sudah tidak dikenal oleh anak-anak zaman sekarang.