Kisah Spiritual: Merasa Berutang sebelum Ziarah Kubur
Oleh: Prof Dr Imam Suprayogo, Mantan Rektor UIN Malang
Sekalipun memindah makam itu tidak begitu lazim, tetapi beliau mengaku puas, oleh karena juga berhasil melihat gigi ibunya yang sudah meninggal lebih 70 tahun, dan ternyata masih utuh.
Membaca tulisan Prof Syafii Maarif itu, semula saya sulit memercayai kebenarannya. Tetapi setelah saya bersilaturahmi ke kediaman beliau, dan menanyakan tentang kejadian itu, ternyata memang benar.
Beliau memindahkan makam ibunya agar mudah dijangkau ketika berziarah. Bahkan ketika itu, saya memberi informasi sekaligus meminta pendapat, bahwa makam para guru besar di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selama ini terpencar-pencar dan tidak terawat. Saya meminta pertimbangan, andaikan makam perintis dan para dosen itu saya kumpulkan pada satu lokasi.
Dengan singkat, pertanyaan saya tersebut dijawab setuju dan sekaligus diberi argumentasi, bahwa hal yang demikian itu sebagai tanda penghormatan kepada para guru besar dimaksud. Memang sampai hari ini, gagasan tersebut belum terlaksana.
Selama ini, saya tidak ragu atas betapa pentingnya berziarah kubur. Setiap saya pergi haji maupun umrah, selalu berusaha singgah ke Masjid Nabawi untuk berziarah ke Makam Rasulullah.
Saya menyaksikan, betapa banyak orang berebut untuk mendekat pada makam orang yang mulia dan kekasih Allah itu, hingga berdesak-desakan tanpa henti.
Saya juga sering kali menyaksikan, betapa banyak orang berziarah ke makam para nabi lainnya di beberapa negara yang pernah saya kunjungi, para ulama besar, tidak terkecuali juga makam para ulama di Indonesia.
Setiap menyaksikan betapa ramainya makam para rasul, nabi, wali, dan para ulama diziarahi oleh banyak orang, maka segera muncul pertanyaan pada diri saya sendiri tentang makam ayah dan ibu saya.