Kokkang Ibunda

Oleh: Dahlan Iskan

Kokkang Ibunda
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Saya kembali memutari bumi: berangkat ke arah timur (Jakarta-Guangzhou-San Francisco-New York), pulang dari barat (Chicago-Istanbul-Singapura-Jakarta).

Bandara O'Hare belum berubah: sempit, penuh, ruwet, sesak. Bukan karena kecil. Saking banyaknya penerbangan. Terbanyak ketiga setelah New York dan Los Angeles. Bersaing dengan Atlanta.

Kokkang Ibunda

Kalau malam terlihat lampu pesawat yang mau mendarat seperti berbaris tidak berhenti di udara.

Begitu mendarat di Istanbul, Turki, terasa lapangnya. Juga modernnya. Gemerlapnya. Bandara ini, kata slogan di situ, titik pusatnya dunia.

Klaim yang sama juga direbut Dubai, Abu Dhabi, Qatar, Singapura, Hong Kong, dan kelak Riyadh.

Baca Juga:

Lebih lima jam saya transit di Istanbul. Tidak akan terasa, apalagi membawa beberapa buku dari Amerika. Juga baru saja dapat kiriman buku elektronik dari sahabat lama, Roy.

Buku elektronik ini kelihatannya lebih menarik untuk dibaca lebih dulu. Penulisnya, saya lebih dari sekadar kenal: Wahyu Kokkang.

Kadang air mata berlinang saat melihat Wahyu Kokkang menggendong sang ibu. Atau saat menyuapi. Dulu tentu sang ibu yang menyuapi Kokkang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News