Komunitas Tionghoa 'Gedung Gajah' Berbenah Menjelang Imlek (1)
Tetap Utuh setelah Dua Kali Kerusuhan Solo
Senin, 12 Januari 2009 – 00:14 WIB
Kendati sejak itu rasa trauma masih melekat di benak warga Tionghoa Solo, PMS tetap berkibar. Bahkan, persentase keanggotaan warga pribumi di PMS cenderung bertambah. Kegiatan sosial mereka juga menyentuh sasaran lebih luas dan tak memandang ras.
Solo memang sudah dua kali diguncang kerusuhan etnis dengan sasaran warga Tionghoa. Sebelum kerusuhan terkait tumbangnya Orde Baru pada 1998, medio 1980 juga timbul kerusuhan serupa. Saat itu dipicu bentrok seorang preman lokal dengan seorang warga Tionghoa.
Yang menarik, sejak Chuan Min Kung Hui berganti nama menjadi PMS pada 1959, visi organisasi tidak berubah. Kegiatannya makin eksis. Bahkan, Sumartono Hadinoto, Humas PMS, mengklaim bahwa PMS adalah satu-satunya organisasi sosial yang didirikan etnis Tionghoa yang tetap eksis pada masa Orde Baru.
Menurut dia, di Solo dan kota-kota lain di Indonesia sebenarnya sejak dulu banyak organisasi Tionghoa. Misalnya, PMS. Mereka berangkat dari organisasi pralenan (kerukunan kematian) yang memang punya akar tradisi kuat di kalangan etnis Tionghoa. ’’Tapi, kebanyakan organisasi itu tiarap ketika rezim Orde Baru berkuasa,’’ katanya.
Perayaan Imlek tinggal dua pekan lagi. Di Solo, Jawa Tengah, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), organisasi komunitas Tionghoa tertua yang masih
BERITA TERKAIT
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara