Kondisi Politik Demokrasi Malaysia Keruh di Tengah Tantangan Menghadapi Pandemi Covid-19
Karena itu, kata dia, masalah yang terjadi di Malaysia juga dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai saudara jauh.
"Apa yang terjadi di rumah tetangga sebelah, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap rumah kita dan sebaliknya. Tetangga damai, kita tenang. Tetangga guncang kita pun ikut resah, karena telinga dan mata, melihat dan mendengar apa yang terjadi di sebelah kita. Kalau negara sebelah demokratis dan sejahtera kita tentu senang, tetapi kalau pemerintahnya dalam krisis politik, konflik tak berujung, ada masalah ketidakpercayaan dan elemen kebangsaannya tidak bahagia, kian khawatir, tertekan dan berjarak satu sama lain. Kita pun akan ikut bersedih, karena Indonesia Raya pernah mengalami suasana 32 tahun totalitarian, pengelolaan politik yang tidak demokratis, aktor politik sipil tertekan dan mayoritas rakyat pun kurang bahagia," tambahnya.
Redupnya Demokrasi Subtantif
Untuk menghindari redupnya demokrasi subtantif, mestinya ada pengakuan dan penerapan indikator berupa praktik check and balances atau saling mengawasi/simak dan saling imbang, antara legislatif dan eksekutif.
Tidak mendiamkan, menggantung atau mengabaikan satu-sama lain. Untuk itu Ilmuwan Politik Sidney Hook misalnya berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan–keputusan pemerintahan yang penting mesti dikonsultasikan kepada wakil-wakil rakyat di parlemen yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengawasi eksekutif ketika membuat kebijakan publik.
Tidak boleh diabaikan atau digantung. Berkaitan dengan itu pemerintahan dan negara yang demokratis adalah yang mengajak dialog para wakil rakyat (Dewan Undangan Negeri) yang mendapat persetujuan dan memenangkan pilihan rakyat lewat pemilu.
"Kita mengenal dalam literatur politik kawasan bahwa negara Malaysia adalah kerajaan yang berkonstitusi, dengan sistem demokrasi berparlemen. Teks “Rukun Negara”nya yang disusun pada 31 Agustus 1970 pada bagian pertama menyebutkan tujuan negara yang mau dibentuk yaitu negara Malaysia mendukung cita-cita hendak: Mencapai perpaduan yang lebih erat dalam kalangan seluruh masyarakatnya; Memelihara cara hidup demokratik; Mencipta satu masyarakat yang adil di mana kemakmuran negara akan dapat dinikmati secara adil dan saksama. Hal ini sejalan dengan indikator demokrasi subtantif yang universal. Namun dalam perjalanan waktu, tentu akan mengalami dinamika pasang dan surut. Demokrasi dengan dasar kedaulatan yang diwakili oleh pihak oposisi dan pro pemerintah, sewajarnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, apalagi dalam suasana darurat pendemi. Pengabaian ini menjadikan demokrasi kian redup dan mengkhawatirkan," jelasnya.
Menuju Monarchy Absolut
Awal 2021 ini misalnya, seperti halnya Indonesia, Kerajaan Malaysia pun sibuk menangani pandemi Covid 19 dengan relasi eksekutif dan llegisatif yang imbang.
Presiden yang diwakili para menteri hadir di DPR RI untuk mendengar kritik Komisi IX yang meminta agar BPOM jangan diintimidasi dan tidak boleh ada denda bagi warga negara yang menolak vaksin. Justru eksekutif yang perlu transparan dan meyakinkan warga negara.
Kerajaan Malaysia dianggap membuat keputusan sepihak dalam menghadapi pandemi covid-19 tanpa melibatkan legislatif sebagai wakil rakyat.
- Warga Tangerang Kecele Beli iPhone 16 di Malaysia: Dapat Produk Gagal, Repot Urus Pajak
- Pengiriman TKI Ilegal ke Malaysia Terbongkar, Satu Tersangka Ditangkap Polres Dumai
- Ini 4 Faktor untuk Mencapai Visi Integrasi dan Konektivitas Subkawasan BIMP-EAGA
- Survei Indikator: China Dipersepsikan sebagai Kawan Terdekat Indonesia
- Mobil Listrik BYD M6 Hadir di Negeri Jiran, Harga Lebih Mahal
- Polda Riau Bongkar Jaringan Narkoba Internasional, Buru Bandar Besar di Malaysia