Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK
Oleh: Anton Doni Dihen
jpnn.com - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 201 5 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang patut ditolak. Alasan penolakannya jelas, yakni karena Undang-Undang hasil revisi tersebut melemahkan eksistensi KPK yang masih dibutuhkan dengan postur dan kekuatan yang sama. Apa sebab kita masih membutuhkan KPK dengan postur dan kekuatan yang sama, karena korupsi terlanjur membudaya dan menjadi persoalan serius bangsa, yang perlu dihadapi dengan kekuatan yang besar.
Sebagaimana yang akan dideskripsikan di bawah ini, Undang-Undang KPK hasil revisi terakhir hanya menghasilkan pelemahan KPK dan tidak menjawab sejumlah persoalan yang awalnya digaungkan sebagai alasan dilakukannya revisi Undang-Undang KPK.
Pertanyaan selanjutnya nya adalah apakah karena fakta hasil revisi seperti itu maka Undang-Undang KPK harus dikembalikan ke aslinya, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang? Dan demikian maka mekanisme hukum seperti judicial review cukup untuk mengembalikan berbagai ketentuan yang sudah terlanjur diubah oleh Undang-Undang hasil revisi?
Kami melihat bahwa sejumlah persoalan yang dinyatakan sebagai kelemahan KPK perlu dijawab melalui produk perundang-undangan baru di tingkat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan menghadirkan ketentuan-ketentuan baru sebagaimana kami gambarkan di bawah ini, sambil pada saat yang sama mengembalikan posisi dan kekuatan KPK agar menjadi lembaga yang kuat.
Basis Persoalan Revisi
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi lahir dari suatu proses kebijakan dengan basis identifikasi persoalan yang tidak cukup kuat. Namun demikian dari wacana yang berkembang di media massa dan media sosial, dapat ditangkap beberapa persoalan “permukaan” yang menjadi pokok perhatian (dan/atau keprihatinan) di balik segenap upaya revisi. Persoalan-persoalan tersebut adalah: (a) Keadilan dalam penanganan persoalan korupsi; bahwa beberapa persoalan korupsi besar sepertinya terabaikan; dan bahwa sepertinya penanganan persoalan korupsi bersifat tebang pilih.(b) Terlalu terbatasnya capaian KPK; yang kelihatan dari fokusnya KPK hanya pada satu tugas, sementara tugas yang lain sebagaimana diamanatkan Undang-Undang diabaikan. (c) Kelalaian KPK dalam melaksanakan kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang; misalnya kewajiban menyampaikan laporan pertanggung jawaban tahunan.
(d) Ancaman terhadap hak-hak privat yang hadir dalam kerja KPK; bahwa penyadapan yang dilakukan dapat pula merekam urusan-urusan lain di luar korupsi, dan bahwa hasil rekaman tersebut tidak cukup pasti apakah dihanguskan atau tersimpan dan disalahgunakan. (e) Potensi pendayagunaan lembaga KPK untuk kepentingan politis lain dan kepentingan ideologis yang tidak sejalan dengan Pancasila. (f) Kecenderungan berkembangnya KPK sebagai super body, yang tidak dapat dikontrol oleh siapapun.
Ada 4 (empat) pertanyaan terkait keenam persoalan di atas, yakni: (1) Apakah persoalan yang teridentifikasi dan ternyatakan ke publik seperti tersebut di atas merupakan persoalan yang benar-benar ada, dengan magnitude dan bobot yang besar? (2) Jika persoalan-persoalan tersebut benar-benar ada, apakah jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut harus disediakan melalui perubahan Undang-Undang? (3) Jika harus disediakan melalui suatu Undang-Undang perubahan, apakah Undang-Undang hasil revisi sudah menyediakan jawaban terhadap setiap persoalan tersebut secara memadai? (4) Apakah Undang-Undang hasil perubahan sungguh-sungguh konsisten hanya menjawab persoalan-persoalan yang teridentifikasi ataukah justru sebaliknya menghadirkan juga konten ketentuan lain yang mengganggu kekuatan eksistensial KPK yang diperlukan untuk mengemban misinya?
Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2015 patut ditolak.
- 7 Alasan Mengapa Kartu Prakerja Koruptif
- Kelompok Studi Aquinas Berharap Pemerintah Berempati Kepada Mahasiswa Terdampak Covid-19
- Segera Terbitkan Protokol Pengendalian Risiko Perhubungan Laut
- Ditanya soal Perppu, Jokowi Justru Mau Evaluasi Program KPK
- ICW Sudah Duga Jokowi Tidak Akan Terbitkan Perppu KPK
- Saut KPK Tantang Jokowi Bersikap Konsisten