Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri

Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
Seorang pengunjung menyaksikan lukisan wajah Pramoedya Ananta Toer pada Festival Seabad Pram di Gedung Blora Creative Space. Foto: Dokumen untuk JPNN.com.

Namun, pendapat berbeda datang dari pegiat hak asasi manusia Yunantyo Adi Setiawan.

Menurut dia, penolakan nama Jalan Pramoedya Ananta Toer merupakan bentuk stigma berlebihan yang tidak ada kaitannya dengan situasi sekarang.

Yunantyo meyakini penamaan jalan menggunakan nama sastrawan yang pernah diasingkan di Pulau Buru itu tidak akan menimbulkan relevansi dengan ancaman kebangkitan komunisme.

Lelaki yang akrab disapa Yas itu mengatakan mencuatnya penolakan tersebut merupakan wujud pemberangusan penghargaan dari pemda setempat terhadap putra daerah yang memiliki karya diakui dunia.

"Pram ini di dunia sastra tidak hanya berpengaruh secara nasional, tetapi internasional. Maka sebetulnya momen Seabad Pramoedya Ananta Toer itu penting memberi penghargaan berupa nama jalan di Blora," kata Yas kepada JPNN.com.

Yas menegaskan penelusurannya tidak menemukan bukti konkret mengenai Pram terlibat dalam aktivitas di Lekra. 

Dia juga menyebut Pram tak bersinggungan apa pun dengan peristiwa yang dikenal G30S PKI pada 1965.

Argumen Yas juga diperkuat dengan fakta bahwa Pram menjadi tahanan politik (tapol) yang menjalani pembuangan selama belasan belasan tahun tanpa proses pengadilan yang jelas.

Peresmian penamaan jalan baru dengan nama Pramoedya Ananta Toer di Kabupaten Blora, ditunda. Penolakan terjadi karena Pramoedya dianggap terlibat komunisme.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News