Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri

Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
Seorang pengunjung menyaksikan lukisan wajah Pramoedya Ananta Toer pada Festival Seabad Pram di Gedung Blora Creative Space. Foto: Dokumen untuk JPNN.com.

“Semestinya penamaan jalan itu tidak perlu ditolak. Maksud saya begini, Pram sebenarnya korban stigma yang dikaitkan PKI, masa lalu," ungkap Yas.

Selain itu, Yas juga mengatakan upaya mendorong rekonsiliasi kultural atau reparasi para korban gerakan kontra-revolusi 1965 juga dilakukan secara masif.

Oleh karena itu, dia merasa heran dengan masih adanya paranoid budaya yang terus dipelihara.

Yas lantas mencontohkan langkah K.H. Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang ketika menjadi presiden meminta maaf secara terbuka kepada para korban pembunuhan massal 1965. 

Gus Dur yang tak diragukan sebagai seorang ulama itu menentang stigmatisasi komunis yang dipropagandakan Orde Baru.

"Apa yang dilakukan Gus Dur itu benar, justru kami mengikuti. Jangan main stigma-stigma PKI, itu adalah kejahatan kemanusiaan yang sebenarnya," katanya.

Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad menyatakan sebenarnya  terdapat tokoh pelopor sayap kiri yang namanya diabadikan untuk jalan, yakni Tan Malaka.

Tokoh kondang penulis Madilog itu dijadikan nama sebuah jalan di Kota Padang, Sumatera Barat.

Peresmian penamaan jalan baru dengan nama Pramoedya Ananta Toer di Kabupaten Blora, ditunda. Penolakan terjadi karena Pramoedya dianggap terlibat komunisme.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News