Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri

Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
Seorang pengunjung menyaksikan lukisan wajah Pramoedya Ananta Toer pada Festival Seabad Pram di Gedung Blora Creative Space. Foto: Dokumen untuk JPNN.com.

Bagi Tsabit, komunisme tak perlu ditakutkan lagi. Alasannya, jantung komunisme secara internasional telah lenyap setelah berakhirnya Perang Dingin.

"Kalau pada 1960-1980 masih oke takut dengan kiri karena masih ada Uni Soviet, masih ada Eropa Timur yang basis ideologinya komunis," kata Tsabit kepada JPNN.com.

Namun, dalam hal polemik penggunaan nama Pram untuk jalan, Tsabit meminta publik melihatnya secara proporsional. 

Dia juga mengajak publik melihat fakta bahwa karya-karya Pram telah diterbitkan ke dalam 33 bahasa.

Oleh karena itu, Tsabit menilai Pemkab Blora sebenarnya telah arif melihat riwayat Pram.

Sosok Pram yang pernah dipenjara di Pulau Buru itu telah menebus dosa dengan menjalani hukuman 14 tahun.

Tsabit menyebut ‘dosa-dosa’ Pram juga telah terbayar dengan segudang karyanya.

"Kontribusi Pram bagi pengembangan literasi bangsa tidaklah kecil, termasuk pengakuan terhadap karya-karyanya, itu sumbangsih atau peran besar daripada dosa-dosanya," ujarnya.

Peresmian penamaan jalan baru dengan nama Pramoedya Ananta Toer di Kabupaten Blora, ditunda. Penolakan terjadi karena Pramoedya dianggap terlibat komunisme.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News