Korban Bom Bali 2005 Mengaku Tak Lagi Marah Kepada Pelaku
"Pantainya indah dengan pemandangan senja yang mengesankan. Semuanya begitu menenangkan namun memang saya sedikit was-was," katanya.
"Saat ledakan pertama terdengar, karena jaraknya cukup jauh, kami tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi," jelas Aleta.
"Mungkin saja sebuah ledakan gas dari kompor barbeque di pantai. Makanya banyak orang yang tetap di mejanya, tidak beranjak," tambahnya.
"Saya sendiri menduga pasti ada sesuatu, jadi saya mencoba melihat sekeliling kami, dan sadar bahwa rombongan kami merupakan satu-satu kelompok orang kulit putih di situ. Kami menjadi target yang mudah jika ada serangan teroris," papar Aleta lagi.
"Saya hanya berpikir saya harus mengurangi risiko menjadi target dan segera lari dari situ," ujarnya.
Benar saja, hanya berselang hitungan sekitar 30 detik, terjadi ledakan kedua di Pantai Jimbaran, mengakibatkan sebaran serpihan tajam dari ledakan itu.
Aleta terhantam serpihan tajam itu di bagian kakinya, namun dia mengatakan bersyukur karena masih selamat, begitu pula dengan orangtuanya.
Kini, Aleta mengakui pengalaman itu menyisakan efek baginya, karena ia merasa mengalami kesulitan untuk melakukan perjalanan. Namun ia merasa bersyukur bia selamat dan mengaku tidak marah kepada pelaku.
Warga Australia Aleta Lederwasch, yang menjadi korban peristiwa bom Bali di tahun 2005, mengaku meskipun sampai kini tidak mudah melakukan perjalanan
- Dunia Hari Ini: Kelompok Sunni dan Syiah di Pakistan Sepakat Gencatan Senjata
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis
- Rencana Australia Membatasi Jumlah Pelajar Internasional Belum Tentu Terwujud di Tahun Depan