Korban Pemandulan Paksa di Jepang Gugat Pemerintah
jpnn.com, SENDAI - Eugenics Law bertitik tumpu pada pemahaman untuk meningkatkan kualitas genetik manusia. Kebijakan itu kali pertama muncul di Amerika Serikat (AS) pada awal 1900-an.
Pada 1920-an dan 1930-an, kebijakan tersebut diterapkan dalam wujud sterilisasi pasien gangguan mental di Belgia, Brasil, Kanada, Swedia, dan Jepang.
Seiring berjalannya waktu, Eugenics Law pudar. Tapi, tidak demikian dengan dampaknya. Perempuan dan laki-laki yang terkena kebijakan itu selamanya tak bisa punya keturunan.
Sebab, tanpa persetujuan mereka, pemerintah memandulkan mereka. Alasannya, mereka menderita gangguan mental dan dianggap tidak layak memiliki keturunan.
Di Jepang, pemandulan masal tersebut menelan 25.000 korban. Rata-rata mereka dimandulkan saat menginjak remaja. Salah satunya adalah perempuan 60 tahun asal Kota Sendai, Prefektur Miyagi, yang menggugat pemerintah Jepang atas pemandulan paksa itu.
Dia menganggap pemerintah melanggar hak asasinya. Maka, dia menuntut ganti rugi JPY 11 juta atau sekitar Rp 1,35 miliar.
’’Kami harus melewati hari-hari yang sangat berat. Kini kami berada di sini demi masyarakat yang lebih baik,’’ kata saudara ipar korban pemandulan masal tersebut sebagaimana dilansir BBC kemarin, Rabu (31/1).
Demi menjaga privasi korban yang mengaku dimandulkan pada 1972 itu, media merahasiakan namanya. Dia hanya disebut sebagai Perempuan Sendai.
Di Jepang, pemandulan masal tersebut menelan 25.000 korban. Selama ini semua korban diam saja. Mereka pasrah pada nasib yang mereka terima
- Wasit Timnas Indonesia vs Jepang Pernah Bertugas di Liga 1
- Kabar Kurang Sedap dari Timnas Indonesia Menjelang Jumpa Jepang
- Jepang Terancam Pincang saat Jumpa Timnas Indonesia
- Pelatih Jepang Sudah Punya Rencana untuk Menghadapi Timnas Indonesia
- Survei Indikator: China Dipersepsikan sebagai Kawan Terdekat Indonesia
- Bintang Jepang Menebar Ancaman, Timnas Indonesia Wajib Waspada