Koruptor Harus Dibunuh
Minggu, 09 Desember 2012 – 10:59 WIB
Tapi jadi menteri itu juga susah kalau ada orang datang minta sumbangan, tidak mungkin tidak kita berikan. Coba kalau jadi menteri, pasti kan sistemnya begini terus di mana gaji itu kecil, dan negara tidak alokasikan dana untuk sosial. Nanti mereka karena sahabatan dengan menteri, pasti bawa proposal minta sumbangan kegiatan sosial. Kita sebagai menteri mau nolak enggak bisa, udah nama kita buruk, ada yang minta sumbangan tidak dikasih, nanti di demo. Kalau dalam kasus saya, uang yang dipakai juga bukan uang negara, tapi uang sumbangan yang diberikan pada saya. Kalau ada kegiatan, ada yang nyumbang ke saya. Itu uang saya pakai untuk pembangunan perikanan dan kelautan juga dana sosial.
Prosesnya begitu. Siapa pun jadi menteri, pasti akan dimintai sumbangan. Padahal APBN enggak akan ada alokasi untuk itu kan. Saya sumbang itu bukan dengan uang negara, makanya dinamakan nonbudgeter. Dana taktis. Saya dilaporkan dan kena kasus ini, hanya karena menteri sesudah saya takut ketahuan memakai uang ini.
Jadi kenapa korupsi berulang, karena penegakan hukumnya enggak adil. Yang merasa back-upnya kuat pasti aman-aman saja. Coba kasus Wa Ode, saya kira banggar itu pasti kena semua. Kalau KPK kurang yakin, lihatlah kehidupan orang-orang banggar itu, kaya raya setengah mati. Very, very, very rich itu. Duit dari mana itu? Orang-orang namanya disebut Wa Ode dulunya anak LSM kok saya tahu itu. Kok aman karena partai.
Penegakan hukum itu tidak equality before the law. Istilahnya ya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Semua tidak sama di mata hukum. Contoh sarkasme ya ibu yang dituduh nyuri kakao. Kalau di kalangan elit, yang lemah-lemah model saya ini yang dihajar untuk dijadiin kampanye gitu, pak Sujudi, mantan Menkes. Kasihan itu. Ada kok menteri yang triliunan kekayaannya, rekening gendut juga sudah jelas-jelas juga enggak tersentuh.