KPK Harus Telisik Pelanggan RA
jpnn.com - Prostitusi Online belakangan menjadi fenomena yang menarik perhatian masyarakat. Mulai dari tewasnya perempuan cantik di indekosnya daerah Tebet, Dedeuh alias Tata Chubby yang belakangan ditengarai sebagai penjaja seks komersial yang memasarkan diri melalui media sosial sampai pada tertangkapnya muncikari Robby Abbas alias RA bersama artis AA, Jumat (8/5) malam oleh Polres Metro Jakarta Selatan.
RA termasuk germo kelas tinggi. Berdasarkan hasil penyidikan Polres Metro Jaksel, ada sekitar 200 Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menjadi 'anak asuhnya'. Umumnya, yang menjadi adik, (sebutan anak asuh RA) adalah artis yang terkenal.
Dari penyidikan juga terungkap bahwa artis yang terlibat dalam bisnis prostitusi ini bayarannya cukup tinggi dengan pelanggan dari kalangan pengusaha dan pejabat. Dari 17 artis inisial yang beredar, dibanderol Rp 20-200 juta untuk sekali kencan dengan durasi 3 jam. Pelanggan tidak hanya dari Indonesia tapi juga datang dari luar negeri.
Nah, bagaimana fenomena prostitusi online ini di mata Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne?
Berikut kutipan wawancara reporter JPNN.com M Fathra Nazrul Islam, dengan anggota Indonesia Legal Rountable dan konsultan ahli sebagai expert judicial psychology di beberapa lembaga seperti Mahkamah Agung, hingga United Nations Office on Drugs and Crime (UNODOC), Kamis (14/5) di Jakarta.
Bicara kasus RA dan AA, apa bisa penindakan yang dilakukan polisi menghentikan geliat prostitusi online, sementara sang pelacur dilepas begitu saja?
Ini kan sebenarnya bukan di online atau media konvensionalnya. Tapi prostitusinya. Saya melihatnya di situ. Online atau konvensionalnya itu sebatas media memasarkan diri, tidak jadi persoalan besar. Persoalan besarnya adalah prostitusinya.
Kalau kita bicara tentang penindakan prostitusi, di online maupun lewat media konvensional, seperti kriteria saya, ada dua jenis prostitute atau pelacur. Yang harus ditindak secara rehabilitasi adalah pelacur yang berstatus sebagai korban, yaitu mereka-mereka yang pada posisi keterpaksaan.