KPPU Ungkap Hambatan di Industri Minyak Goreng, Ternyata Ini Penyebabnya
jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan sejumlah hambatan di industri minyak goreng.
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala menyebut hambatan itu menyebabkan sulitnya pemain baru masuk di industri minyak goreng.
Menurutnya, pemain baru di industri minyak goreng kesulutan akibat kewajiban pasokan bahan baku hingga standar nasional.
Padahal, dibutuhkan lebih banyak pemain baru di industri minyak goreng agar kestabilan harga bahan pokok itu bisa terjaga dan dominasi perusahaan besar bisa dikurangi.
"Kami melihat regulasi pemerintah belum mendorong industri minyak goreng karena masih banyak regulasi yang menghambat adanya pemain baru di industri minyak goreng," kata Mulyawan dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis.
Salah satu aturan yang menyulitkan, lanjut Mulyawan adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Dalam aturan tersebut disebutkan untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan, maka perusahaan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen kebutuhan bahan baku yang berasal dari kebun sendiri.
"Kami telah mengirimkan surat pada 2007 ke presiden untuk cabut kewajiban 20 persen tersebut karena kewajiban tersebut kami nilai saat itu menyebabkan kurangnya persaingan usaha di industri turunan CPO dan turunannya. Ini terbukti saat ini," katanya.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan sejumlah hambatan di industri minyak goreng.
- Denny JA Sebut Prabowo dapat Sentimen Negatif soal Pilkada Dipilih DPRD
- Alhamdulillah, Anggaran Kredit Investasi Padat Karya Mencapai Rp 20 Triliun
- Kabar Baik, Target KUR 2025 Naik jadi Rp 300 Triliun
- Banggar DPR RI Minta Pemerintah Menyiapkan 9 Langkah Setelah PPN 12 Persen Berlaku
- PT Akulaku Finance Indonesia Capai Kesepakatan Rp 600 Miliar dengan 3 Bank
- Hingga Kuartal III 2024, Pembiayaan Keuangan Berkelanjutan BSI Tembus Rp 62,5 Triliun