Krisis Negarawan
Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi
Dalam perjumpaan itu saya menggugat: jika demokrasi selalu berhubungan dengan filosofi dan akar budaya suatu bangsa, kenapa AS “merekomendasikan dengan kuat dan penuh semangat” agar Indonesia menerapkan demokrasi liberal? Jawaban mereka tentu saja diplomatis dan diskusi menjadi tidak berujung disebabkan perbedaan filosofi dan akar budaya tentang demokrasi.
Pemahaman ini yang menyemangati saya tentang betapa pentingnya beberapa tokoh nasional berjumpa karena Pemilu 2004 juga berlatar belakang penghianatan, konflik para tokoh dan berbuah krisis kepercayaan satu sama lain. Saya memandang penting kehadiran negarawan pada saat itu.
Maaf, sejak awal saya memandang ada tokoh yang berkuasa justru belum mempunyai kapasitas negarawan secara meyakinkan. Ternyata setelah menjumpai beberapa tokoh, saya mendapatkan syarat-syarat yang luar biasa untuk mereka bisa berjumpa satu sama lain. Syarat-syarat itu tidak mungkin saya kemukakan dan sulit untuk dipenuhi. Lalu bersama Revrisond Baswir, saya berkesimpulan, bangsa ini telah kehilangan pemimpin berkarakter negarawan.
Sepuluh tahun lewat sudah. Selama itu pembelajaran sosial, ekonomi dan politik telah membuka pandangan baru bagi banyak orang. Sayangnya sejumlah prediksi saya yang negatif tentang bangsa ini yang berpijak pada kebebasan telah menjadi kenyataan. Jika 30 tahun lalu saya menulis bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi saling menihilkan, saling delegitimasi dan transaksional, kini semua itu tegak sebagai sebuah sistem tak tertuliskan.
Nah, Pemilu 2014 makin mengukuhkan sistem itu. Lalu kalau pilihannya adalah sistem politik yang gaduh, kenapa mesti risau dengan kegaduhan itu? Jika sistemnya adalah suara terbanyak yang menang, kenapa memaksa musyawarah pada saat kalah? Jika sikap politiknya adalah diri dan kelompoknya yang utama, kenapa harus sakit hati ketika tidak memperoleh bagian?
Inilah penerapan the winner takes all. Ini pula hasil reformasi yang tidak dipahami sehingga menguatkan krisis negarawan pada bangsa ini.(***)
LIMA belas tahun lalu saat banyak kalangan gegap gempita berteriak reformasi sebagai wujud semangat berdemokrasi, saya agak terhenyak. Ketika menjadi
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan
- Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur
- Kementerian Baru dan Masa Depan Kebudayaan
- Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia
- Ketahanan Pangan Bermula dari Rumah
- Gerakan Mahasiswa: Instrumen Mewujudkan Indonesia Emas 2045