Kritik YES, Harmonis NO
Kamis, 28 Mei 2009 – 20:37 WIB
KETIKA Presiden SBY dan Wapres JK terlihat mesra di layar televisi, Rabu (27/5), sungguh politik adalah sebuah "cabang kesenian". Keduanya bersanding-bahu di Istana Negara mengikuti rapat konsultasi dengan pimpinan parlemen. Tak terlihat wajah cemberut. Mereka berdua menebar senyum ke kiri dan kanan, menyapa kolega dan mitra dalam mengurus bangsa yang besar ini. Ibarat tanding sepakbola, ya, kadang main keras, adu badan, sehingga ada yang terpental. Bukan main kasar. Keras dan kasar itu berbeda, seperti berbedanya bus kota dan kantor pos. Penonton tak perlu khawatir. Mana mungkin tanding sepakbola jika tak ada lawan. Pula, lawan main bukanlah musuh yang harus dihabisi, tetapi hanya sekadar sebuah "play" dengan seluruh rule dan etikanya.
Berada pada posisi berseberangan, karena masing-masing menjadi capres untuk partai yang berbeda dan bertarung dalam Pilpres 2009, tidak harus berlaku melodramatik. "Sekali lawan tetap lawan" mestilah pada konteks dan ruang waktu yang tepat. Para negarawan terdahulu seperti Natsir dari Masyumi dan DN Aidit dari PKI boleh "cakar-cakaran" di parlemen pada 1950-an. Tetapi tiba makan siang, masih bisa duduk semeja seraya bercengkerama.
Baca Juga:
Mereka yang terperanjat dan cemas, karena belakangan ini muncul fenomena "perang kata-kata" antara capres-cawapres, tak perlu merasa Indonesia akan "kiamat". Politik memang seni memainkan kepentingan, dengan harapan rakyat akan terpesona dan terbujuk hatinya. Hanya sebuah jalan menuju tujuan.
Baca Juga: