Kubu Terdakwa BTS Sebut Fakta Persidangan Ungkap Kejanggalan Audit BPKP
Kejagung menyebut kerugian tersebut berasal dari kegiatan penyediaan infrastruktur BTS dan infrastruktur pendukungnya yang belum selesai dikerjakan.
Maqdir Ismail menjelaskan, 3.242 BTS yang dianggap “mangkrak” oleh Kejagung tersebut sejatinya sebagian besar telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif.
Oleh karena itu BPKP seharusnya tetap bisa menilai valuasinya sehingga tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.
"Bahkan BTS-BTS itu telah memberikan sinyal 4G kepada masyarakat, serta telah memberikan manfaat bagi operator seluler maupun BAKTI yang menerima pembayaran dari operator seluler," lanjutnya.
Oleh karena itu, Maqdir menilai kerugian negara dalam dakwaan Kejaksaan sangat tidak tepat.
Pasalnya, proyek BTS yang masih proses pengerjaan sudah sewajarnya dihitung karena barang yang sudah dibeli telah menjadi milik negara.
“Bagaimana mungkin penuntut umum kejaksaan mendakwa bahwa proyek BTS yang belum selesai dianggap sebagai kerugian negara (total loss)," jelasnya.
Magdir menyebutkan ada empat faktor yang menbuat proyek itu molor. Pertama, terkendala Covid-19 yang diikuti dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara ketat yang menghambat rantai pasok dan mobilisasi material dan pekerja.
Penafsiran kerugian negara oleh Kejaksaan Agung berdasarkan hasil audit BPKP terkait kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G tengah menjadi sorotan.
- Ahli Ungkap BPKP Tak Bisa Tentukan Nilai Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah
- Kasus Timah, Saksi Ahli Soroti Pihak yang Berwenang Menyatakan Kerugian Negara
- Bea Cukai Tindak Rokok Ilegal di Kendari, Selamatkan Potensi Kerugian Negara Ratusan Juta
- Guru Besar Pertambangan Sebut Kerugian Lingkungan di IUP Aktif Tidak Bisa Dipidana
- Sidang Korupsi Timah, Hakim Pertanyakan Penghitungan Kerugian Negara Berdasarkan IUP
- Perbedaan Data Kerugian Lingkungan Kasus Korupsi Timah Sorot Perhatian di Persidangan