Kuda Bima
Oleh: Dahlan Iskan
Saya masih beruntung: ketika menggendong bayi di desa itu tidak sampai ada tuduhan bahwa itu bayi saya bersama wanita berkacamata hitam itu: saya bisa ditebas parang Pak Kadus di Tambora.
Saya gembira Pak Kadus mulai tanam jagung. Akhirnya "wabah" jagung di Sumbawa merambat juga ke lereng timur gunung Tambora. Belum banyak lahan jagung di sisi timur ini. Tapi wabah hijau itu kelihatannya cepat juga menular sampai di sini.
Dulunya kawasan ini terkenal dengan hasil jambu mete. Seperti juga di Flores timur. Tapi wabah mete pernah merajalela. Lima tahun lalu. Sampai pohon mete yang rindang itu terlihat hitam: penuh binatang seperti kupu-kupu kecil berwarna gelap.
Saya masih ingat: saya coba melemparkan batu kecil ke rimbunan daun dan bunganya yang menghitam itu. Ribuan serangga kecil beterbangan sebentar. Lalu hinggap lagi di bunga yang sama.
Mete memang tumbuhan alam. Tidak ditanam secara khusus. Tidak ada yang berkebun mete sekarang ini. Kurang ekonomis. Biaya menanam dan merawatnya besar. Musuhnya bukan hanya babi, juga sapi, dan kambing. Apalagi mete baru berbuah setelah 5 tahun.
Demam jagung awalnya sulit sampai di sini. Penduduk percaya jagung sulit tumbuh: "tanah di sini mengandung pasir besi."
Desa-desa di lereng Timur ini adalah desa transmigrasi: pindahan dari Bima dan Lombok. Masih baru. Angkatan pertamanya tahun 2003.
Pak Kadus angkatan pertama. Asal Bima. Beliau termasuk yang bertahan di sini. Lebih separo transmigran pergi lagi.