Kusni Kasdut, Hikayat Bandit Revolusioner

Kusni Kasdut, Hikayat Bandit Revolusioner
Tanda tangan Kusni Kasdut. Foto: Istimewa.

“Diam di tempat dan jangan coba lakukan apa-apa!” Orang berseragam polisi itu menghardik. “Tak akan terjadi apa-apa jika kalian ikuti perintah saya…”

Para sandera tak berkutik. Seseorang dari kerumunan pengunjung bergerak cepat. Entah kemana. 

Sejurus kemudian seorang petugas jaga museum masuk. Langkahnya terhenti ketika orang berseragam polisi itu mengarahkan bedil dan menghardik. “Diam! Jangan macam-macam! Tak perlu belagak pahlawan…”      

Petugas itu hirau. Dia coba menjalankan tugasnya; mengamankan wilayah yang diamanatkan padanya. 

Dan hal itu berbuah petaka. Orang berseragam polisi yang postur tubuhnya tak bisa dikatakan tinggi itu tak main-main dengan ancamannya. 

"Door…!" Petugas tersebut terkapar meregang nyawa. Timah panas mengantarnya pada tidur panjang.
 
Para sandera kian bergidik. Saling berpegangan. Berdoa menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Semua doa yang hafal dipanjatkan. 

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Sebuah mobil jeep berlalu. Kencang meninggalkan asap. Sedikitnya 11 batu permata antik koleksi museum itu raib.  

Jakarta geger. Indonesia bergetar. Berita perampokan disertai pembunuhan menghiasi halaman utama surat kabar. 

Sebuah cerpen sejarah karya Wenri Wanhar* ======= LP Kalisosok, 16 Februari 1980 Dua belas penembak jitu ambil posisi. Dari dua belas bedil, hanya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News