Laut China Selatan, Teledor Atau Terjerat Calo Kekuasaan
Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Dengan situasi seperti ini, Prabowo masih yakin bisa memainkan peran untuk menciptakan stabilitas kawasan, tetapi di saat bersamaan mengambil posisi yang menguntungkan Tiongkok dan berpotensi melahirkan antipati dari negara lain yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan.
Semestinya ketika kebijakan itu berkaitan dengan teritori negara, maka Presiden perlu mendengar suara rakyat melalui DPR RI, karena kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Bukan berada di tangan segelintir pengusaha ataupun elite politik.
Posisi Indonesia yang tergesa-gesa ini bisa dimaknai karena keteledoran atau ketidakpahaman dari pemangku kepentingan atas dampak dari pengakuan terhadap wilayah tumpang tindih itu. Tetapi, juga sangat logis dan wajar kalau ada yang mencurigai “tangan kotor” ikut bermain di baik munculnya pernyataan bersama itu, dengan memanfaatkan kebutuhan Prabowo untuk memenuhi imajinasinya untuk mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi, serta memberikan makanan bergizi gratis, swasembada pangan dan energi.
Semua ini dijadikan senjata yang melumpuhkan akal untuk meloloskan apapun kepentingan pihak lain, termasuk pernyataan beresiko terhadap teritori Indonesia itu.
Janji pertumbuhan ekonomi 8,5 persen sangat fantastis, tapi juga perlu bersikap realistis. Angka seperti hanya bisa dicapai melalui industry ekstraktif yang menjual mentah sumber daya alam tanpa diikuti dengan industri turunan, yang sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Growth economic strategy yang demikian pernah dilakukan pada tahun 1960an yang dimulai dengan UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, ketika Indonesia sedang mengalami hiperinflasi hingga 600 persen pada tahun 1965 dan kenihilan pertumbuhan ekonomi.
Dengan situasi seperti itu, pemerintah menggenjot industry ekstraktif dengan sangat masif melalui. Minyak Permina (cikal bakal Pertamina) dari Pangkalan Brandan diekspor perdana ke Jepang tahun 1958, emas Freeport tahun 1967, ikan di laut Banda melalui Banda Sea Agreement tahun 1968. Strategi ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke 7 sampai 9 persen, tetapi tidak memihak industri turunan yang bisa berdampak kepada perbaikan ekonomi rakyat, produksi dan sebagainya.
Bukan rahasia lagi, kalau Tiongkok mendapat “karpet merah” selama pemerintahan Joko Widodo yang bakal diteruskan Prabowo. Hal yang paling nyata berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti nikel dari nikel di Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Kontribusi terhadap daerah tidak setara dengan kerusakan lingkungan yang muncul dari eksploitasi sumber daya alam. Kekayaan alam diambil begitu saja, sementara masyarakat tidak memperoleh kesejahteraan atas kekayaan alam yang ada.
Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, menyoroti pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Xi Jinping soal Laut China Selatan.
- Jadi Pilihan Prabowo, Ahmad Ali-AKA Menyambut Kemenangan Besar di Pilkada Sulteng
- Menko Airlangga Dampingi Presiden Prabowo Temui Sekjen PBB, Ini yang Dibahas
- Prabowo Bakal Suntik Mati Operasional PLTU dalam 15 Tahun
- Ribuan Pendukung dari Seluruh Penjuru Maluku Hadiri Kampanye Akbar JAR-AMK
- Senator PFM Desak Presiden Prabowo Turun Tangan Terkait Masalah Seleksi CPNS 2024
- KTKI Perjuangan Tuntut Keppres KKI Dibatalkan demi Masa Depan Profesi