Laut China Selatan, Teledor Atau Terjerat Calo Kekuasaan

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Laut China Selatan, Teledor Atau Terjerat Calo Kekuasaan
Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok. pribadi for JPNN

Tentu, belum hilang dari ingatan, bagaimana pemberitaan yang massif tentang penyelundupan material nikel ke Tiongkok sebesar 5.000 ton tidak ada kabar lebih lanjut. Tidak masuk akal, kalau para penyelenggara negara tidak terlibat dalam ekspor illegal yang demikian besar itu. Sebab, nilainya juga tidak tanggung-tanggung mencapai triliun rupiah yang melayang begitu saja.

Contoh lain, pengelolaan Migas Bula dan Non Bula di Pulau Seram yang tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat. Bahkan participating interest (PI) 10 persen juga tidak diberikan sampai saat ini atau dana bagi hasil yang begitu minim dibandingkan dengan kekayaan alam yang diangkut oleh perusahaan yang mayoritas saham operator dikuasai BUMN dari Tiongkok.

Sangat menyakitkan dan sangat ironis, karena Minyak Bula dieksploitasi sejak zaman Belanda pada tahun 1925, kemudian Jepang dan Permigan (RI), tetapi wilayah Maluku terpuruk sebagai provinsi miskin di Indonesia, bersama hampir semua provinsi di kawasan timur.

Begitu juga belum hilang dari ingatan kasus Benjina di Maluku yang sempat mendapat sorotan luas, karena adanya praktik perbudakan dalam penangkapan ikan. Pemerintah mungkin sudah melupakan peristiwa seperti itu, tetapi tidak bagi rakyat yang diperbudak asing di atas kekayaannya sendiri.

Hal-hal seperti ini akan selalu berulang, ketika pengelola negara berlaku sebagai pengusaha sekaligus penguasa. Indonesia yang kaya sumber daya alam ini tidak layak untuk menadahkan tangan kepada negara lain. Sebaliknya, Indonesia yang semestinya, mengulurkan tangan.

Hanya saja, ketika negara ini dikelola para penguasa yang bermental calo, maka kekayaan alam Indonesia akan terus mengalir ke luar negeri. Setelah itu, pemerintah merasa bangga mendapat bantuan, misalnya US$ 10 Miliar dari Tiongkok, termasuk untuk membantu makanan bergizi gratis.

Sebaiknya, mari kita ingat kembali hal yang paling mendasar, kalau dalam hubungan dengan negara lain, tidak akan pernah ada makan siang gratis. Kalau bukan kekayaan alam yang dikeruk, setidaknya bersiaplah untuk menjadikan negara ini sebagai pasar bagi negara produsen ataupun konsekuensi lainnya.

Sangat disayangkan, karena Negara yang kaya sumber daya alam ini dikelola dengan gaya kolonial, yang melibatkan segelintir pengusaha yang patut diduga merupakan bandar dalam setiap event politik.

Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, menyoroti pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Xi Jinping soal Laut China Selatan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News