Lembah Kematian
Oleh: Dahlan Iskan
Saat itu IBM baru memiliki super-computer untuk kali pertama. IBM meletakkannya di kampus tersebut -–karena ahlinya ada di situ. Riyanarto ditawari bergabung ke tim super-computer itu. Mau. Pun meski syaratnya berat: padat dengan proyek penelitian.
Itulah sebabnya Riyanarto mengajak sekalian istrinya ke Kanada. Anak-anaknya lahir di sana. Sekolah SD pun di sana.
Ketika keluarga Riyanarto harus kembali ke Indonesia, anak-anaknya minta sekolah di sana. Maka anak-anak itu balik ke Kanada. Ibu mereka menemani –sambil tetap menjadi istri jarak jauh. Sampai mereka lulus.
Kini anak sulungnya tinggal di sana. Dapat istri wanita Kanada –wanita kulit putih. Putri bungsu bekerja di Jepang –menjadi penyelia guru bahasa Inggris. Hanya satu anak yang di Indonesia. Tinggal di Jakarta. "Saya kembali tinggal berdua dengan istri di Surabaya," katanya.
Dua tahun lalu Riyanarto mendapat penghargaan dari kementerian pendidikan dan ristek. Yakni sebagai guru besar yang paling produktif. Yang menghasilkan karya tulis hasil penelitian terbanyak di Indonesia: 270 karya tulis –sekarang menjadi 293. Banyak di antaranya yang dihasilkan bersama dosen lain saat masih di Kanada.
Tapi penghargaan itu juga yang membuat Riyanarto gelisah. Apalagi setiap kali mendengar ejekan ini: peneliti Indonesia itu hanya bisa menghasilkan kertas. "Saya terus terganggu dengan ejekan seperti itu," katanya.
Setelah lama berlalu, saya bertemu lagi dengan Prof. Riyanarto kemarin. Di ''kerajaan'' baru grup Samator di Surabaya. Ada tiga gedung pencakar langit di markas pusat grup bisnis bidang oksigen itu.
Di situlah kemarin diadakan vaksinasi masal untuk keluarga pengusaha. Khusus yang berumur 60 tahun ke atas. Bos grup Samator itu, Arief Harsono, adalah teman lama. Ia ketua Apindo, asosiasi pengusaha. Juga ketua Permabudi, persatuan masyarakat Buddha Indonesia.