Lengser

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Lengser
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

Bagi Jokowi, latar belakang sebagai kawula justru menjadi kekuatannya. Dia secara sadar melancarkan jurus komunikasi politik sebagai representasi kawula, wong cilik, dengan memakai idiom-idiom rakyat dan berpenampilan merakyat.

Gaya komunikasi politik Jokowi yang humble, lembah manah, andap asor, dengan cepat menjadikannya idola yang melesat secara meteorik. Pada saat yang sama masyarakat mengalami disilusi dan kejenuhan terhadap kekuasaan yang pongah dan bossy, sok ngebos.

Jokowi menjadi antitesis kekuasaan yang selama ini dipersepsikan sebagai wahyu kedaton yang turun dari langit. Jokowi mendekonstruksi semua stereotip kekuasaan Jawa yang serbajaim, jaga image dan penuh unggah-ungguh yang membosankan.

Dalam khazanah Babad Tanah Jawi, Jokowi mungkin mirip Kiageng Pengging, sama-sama dari Boyolali, yang berhasil memindah episentrum kekuasaan dari Demak yang pesisir ke Pajang yang agraris.

Itulah yang coba dilakukan oleh Jokowi dengan memindah episentrum kekuasaan dari tanah Jawa ke Kalimantan, dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara.

Para presiden terdahulu adalah para penguasa Jawa, raja-raja Jawa yang berparadigma Jawa sentris, Jawa sebagai episentrum kekuasaan. Jokowi mendekonstruksi paradigma itu.

Dalam dokumen Nawacita, sembilan prioritas pembangunan disebutkan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”

Dalam berbagai kesempatan Jokowi memakai pakaian tradisional dari berbagai daerah. 

Jokowi adalah penguasa pasca-Jawa. Dialah Raja Pasca-Jawa yang mendekonstruksi semua paradigma kekuasaan lama sejak Soekarno.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News