Lewat Retret Kepala Daerah, Prabowo Dinilai Sedang Menghancurkan Demokrasi

Lewat Retret Kepala Daerah, Prabowo Dinilai Sedang Menghancurkan Demokrasi
Pengamat politik Unair Airlangga Pribadi Kusman. Foto: dokpri Airlangga Pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Retret bagi kepala daerah dinilai tidak memiliki urgensi yang signifikan dan hasilnya sulit diukur. Dalam 100 hari pertama pemerintahan, para menteri di kabinet Prabowo terlihat tidak kompak.

Hal ini menunjukkan bahwa metode pengarahan seperti retret tidak efektif dalam menciptakan keselarasan, terutama dalam pemerintahan yang diwarnai beragam kepentingan politik. Ketika tata kelola pemerintahan tidak berlandaskan prinsip good governance dan supremasi hukum, retret hanya menjadi simbol tanpa hasil nyata.

Sebagai contoh, kasus kebijakan pagar laut menunjukkan ketidaksinkronan pernyataan antara Menteri ATR/BPN dan Menteri KKP. Lebih parah lagi, kebijakan gas 3 kg dari Menteri ESDM yang dibuat tanpa kajian matang, bahkan akhirnya diralat dengan menyebut bahwa kebijakan tersebut bukan berasal dari Presiden.

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan sebenarnya pembekalan bagi kepala daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Kepala daerah rutin mengikuti orientasi dan pelatihan yang diberikan oleh Lemhanas. Metode orientasi pun tidak harus berbentuk retret yang terkesan militeristik.

"Retret bagi kepala daerah tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak dapat dijadikan sebagai solusi utama untuk menciptakan keselarasan dalam pemerintahan. Prinsip demokrasi justru mengutamakan supremasi sipil," ujar dia dalam keterangannya, Senin (24/2).

Pertanyaan besar muncul ketika kepala daerah dikumpulkan untuk retret di Akademi Militer (Akmil). Prinsip demokrasi menekankan supremacy of civilian, tetapi justru para kepala daerah diarahkan ke lingkungan yang lebih menanamkan nilai-nilai militer seperti sentralisasi dan hierarki. Ini bertentangan dengan semangat desentralisasi yang menjadi fondasi pemerintahan daerah.

Kepala daerah telah bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan undang-undang, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa. Tidak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan bahwa retret adalah kewajiban bagi kepala daerah. Jika retret dijadikan kewajiban, bagaimana dengan kepala daerah yang sudah senior dan tidak dapat mengikuti kegiatan ini?

"Jika retret ini diwajibkan, maka hal ini justru mengancam prinsip demokrasi yang telah kita bangun. Kepala daerah harus tetap dekat dengan rakyatnya, bukan justru diarahkan menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat," tambah Airlangga.

Pertanyaan besar muncul ketika kepala daerah dikumpulkan untuk retret di Akademi Militer (Akmil).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News