LGBT Indonesia Bebas Ekspresikan Diri di Australia Lewat Mardi Gras
"Sering ada pertanyaan bahkan dari gay sendiri, siapa yang jadi perempuannya? Siapa yang masak di rumah? Menjadi gay seolah-olah salah satu harus jadi ibu rumah tangga yang baik," kata Paul.
"Saya menentang itu. Komunitas LGBTQ sering menuntut kesetaraan, tapi kenapa harus menyamakan diri seperti hubungan orang heteroseksual. Bahkan dalam rumah tangga, suami istri pun bisa sama-sama melakukan pekerjaan domestik."
Relasi gay tidak melulu seksual
Adhi Sappareng, asal Sulawesi Selatan ikut berpartisipasi pada float komunitas Selamat Datang pada Mardi Gras Sydney 2019 karena ingin bersenang-senang.
"Saya ikut untuk fun saja, seru-seruan dengan teman. Karena di Indonesia kita tidak bisa mengalami hal seperti itu," kata Adhi.
Photo: Adhi Sappareng (kelima dari kiri) bersama teman-temannya yang berpartisipasi pada Mardi Gras Sydney 2019.
Adhi cukup terbuka tentang kehidupannya sebagai gay di media sosial namun belum membuka soal itu kepada keluarganya.
"Selama masih ada ibu saya, tidak akan mungkin terbuka saya. Susah, saya tidak mau dia jadi sedih dan berlarut-larut," kata Adhi yang datang ke Australia pada tahun 2015 dengan visa bekerja dan berlibur (WHV).
Saat ini Adhi mengantungi visa pelajar karena sedang belajar commercial cookery sampai tahun 2022.
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis
- Rencana Australia Membatasi Jumlah Pelajar Internasional Belum Tentu Terwujud di Tahun Depan
- Dunia Hari Ini: Konvoi Truk Bantuan Untuk Gaza Dijarah Kelompok Bersenjata