LGBT Indonesia Bebas Ekspresikan Diri di Australia Lewat Mardi Gras
Setelah lulus sekolahnya ia berencana mengambil visa subclass 485 yang memungkinkan dirinya tetap di Australia sampai dua tahun, hingga tahun 2024 dan kembali ke Indonesia.
"Sepuluh tahun di Australia cukup. Saya memang sejak awal tidak punya keinginan menetap permanen di Australia," kata Adhi.
"Banyak orang berpikir sebagai gay, pasti di Australia lebih enak kalau ingin mencari pasangan orang kaukasia. Tapi saya tidak mencar itu. Mungkin saya ini produk LGBT yang gagal," kata Adhi sambil tertawa.
Adhi mengatakan, persepsi umum lainnya memandang relasi gay adalah semata-mata seksual.
"Mungkin 99 persen hubungan gay adalah tentang seksual. Tapi saya tidak tertarik lagi dengan itu," kata Adhi.
"Sekarang saya lebih senang mencari teman, bergaul di komunitas yang kecil. Mungkin karena dulu di Indonesia saya pernah menjalani orientasi yang sangat seksual, mencari pasangan seperti makan obat tiga kali sehari."
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis
- Rencana Australia Membatasi Jumlah Pelajar Internasional Belum Tentu Terwujud di Tahun Depan
- Dunia Hari Ini: Konvoi Truk Bantuan Untuk Gaza Dijarah Kelompok Bersenjata