Lia Ahok
Dahlan Iskan
Mungkin karena saya belum pernah ke Berklee --beberapa kali mampir Berkeley ketika ke Sacramento. "Saya takut diprotes alumni Berkeley," ujar Lia.
Saya tidak melihat ada piano di rumah Lia di Queens, New York. Lia juga tidak pernah menyinggung piano. Dia sudah benar-benar jadi orang hukum. Kantor hukum milik Lia bagus. Di jalan utama Queens.
Lia sering mengekspresikan keinginannyi untuk bisa pulang ke Indonesia. Agar bisa menyumbangkan tenaganyi untuk masyarakat dan negara.
Ketika menjadi ketua tim pemenangan Ganjar di Amerika pun tujuan Lia untuk Indonesia yang lebih baik.
Saya tidak setuju itu. Saya justru menyarankan Lia untuk tetap di Amerika. Di Indonesia sudah terlalu banyak politisi. Jangan risi dengan anggapan berkarier di luar negeri itu kurang nasionalistik.
"Itu pikiran lama dari orang yang pandangan nasionalismenya sempit. Jangan ikut nasionalisme sempit. Harus berubah ke nasionalisme modern". Itu Anda sudah tahu: kata-kata yang sering diucapkan anaknya Pak Iskan.
Indonesia sulit maju karena dua pandangan yang bertabrakan. Keagamaan yang sempit dan nasionalisme yang sempit. Pak Iskan mungkin marah mendengar pendapat anaknya seperti itu. Tetapi zaman sudah berubah.
Nasionalisme sempit juga masih mengagungkan doktrin berdikari. Termasuk memuja swadesinya India. Padahal, India sendiri sudah lama meninggalkan swadesi --karena swadesi nyaris membuat India bangkrut.