Liang Bua, Rumah 'Hobbit Flores' yang Terus Digali

Warga pun Jadi

Liang Bua, Rumah 'Hobbit Flores' yang Terus Digali
Ilustrasi situs arkeologi. Foto: Antara
Sampai sekarang daya tarik homo floresiensis masih begitu kuat. Ahli-ahli kepurbakalaan di seluruh dunia masih terus memperbincangkannya.

Benarkah dia spesies baru atau hanya manusia cacat yang kebetulan kerangkanya ditemukan? Penelitian dan penggalian seperti yang dilakukan Arkenas pun terus berlangsung. Semua bertujuan menggali informasi soal keunikan spesies manusia cebol itu. Diskusi juga masih berlangsung soal apakah para Hobbit punah atau sempat beranak-pinak dan punya keturunan di era modern ini.         
*** Magnet Liang Bua sebagai tempat penelitian terjadi sejak era 1960-an. Saat itu ada Pastur Theodore Verhoeven yang mengajar warga desa di Liang Bua. Lantaran tak ada fasilitas sekolah, pastur Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada, Flores, itu memanfaatkan Liang Bua sebagai ruang kelas.

Saat itulah rohaniwan yang juga arkeolog paro waktu itu tergugah rasa ingin tahunya. Sebab, dia menemukan banyak fragmen tulang manusia dan aneka gerabah. Pada 1965, di sela-sela mengajar, Pastur Verhoeven menggali salah satu bagian lantai Liang Bua. Temuannya cukup mengagetkan. Pada kedalaman kurang dari satu meter, dia menemukan tujuh kerangka manusia modern disertai bekal-bekal kubur berupa periuk, kendi, beliung, manik-manik, dan perunggu dari masa setelah zaman batu atau awal zaman logam.
   
Sejak saat itu Liang Bua kondang sebagai tempat kajian arkeologis yang menyimpan berlaksa daya tarik. Berdasar penelitian itu tampak bahwa Liang Bua dihuni manusia modern sejak 10 ribu tahun silam. Jauh sebelum itu, ada Hobbit yang menjadikan gua tersebut sebagai rumah."Sampai sekarang kami masih temukan jejak-jejak peradaban lampau itu," kata Jatmiko.
   
Bahkan, jejak aktivitas pada masa Pastur Verhoeven pun kadang masih muncul. Tim peneliti kerap menemukan grip dan sabak, batu tulis anak-anak sekolah sekitar delapan dekade silam. "Sehingga, Liang Bua ini sudah akrab dengan warga di sekitar sini, mulai warga purba hingga warga modern," katanya.

Kini, warga sekitar Liang Bua terus-menerus dilibatkan untuk membantu penelitian. "Saya berani jamin, warga di sini bisa disebut arkeolog. Saya berani adu mereka dengan arkeolog yang baru lulus perguruan tinggi. Warga ini lebih jago," kata Jatmiko.

Padahal, menggali situs penelitian tak sama dengan menggali kubur. Di Liang Bua, tanah digali 10 sentimeter demi 10 sentimeter pada petak berukuran 2 x 2 meter persegi. Tanah yang diangkat lalu dicuci untuk memisahkan fragmen tulang atau temuan lain. Setelah itu, tanah dikembalikan lagi ke tempat penggalian.

Warga pun tak hanya dilibatkan untuk menggali. Mereka juga bisa memilah, membersihkan, hingga melakukan perbaikan kecil terhadap fragmen-fragmen yang ditemukan. Misalnya, memberikan pengawet khusus atau mengelem bagian yang retak. "Kami memang sudah biasa memegang fosil. Ini fosil tulang telinga stegodon," kata Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, yang bertugas menyortir fosil sebelum dikirim ke Arkenas, Jakarta, sembari menunjukkan potongan tulang.

Warga Liang Bua, terutama yang masih muda, memang mendapat pujian secara khusus oleh Jatmiko. "Mereka smart dan mau belajar. Mereka juga bisa menjelaskan salah kaprah bahwa homo floresiensis punya keturunan sampai sekarang," kata Jatmiko.

Setiap Arkenas melakukan penelitian di Liang Bua "selama kurang lebih dua bulan tiap tahun" ada sekitar 40 warga yang dilibatkan. Mereka diberi honor Rp 45 ribu per hari per orang. Honor itu diterimakan tiap pekan. Selain honor, seluruh fasilitas ditanggung. Makan, kopi, hingga rokok yang diberikan sehari dua kali.

Kepulauan Flores memang memikat. Alamnya elok, sejarahnya juga unik. Termasuk kehadiran homo floresiensis, manusia purba bertubuh kate (kerdil) yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News