Liberalisasi Kapitalis Runtuhkan Ekonomi Global

Liberalisasi Kapitalis Runtuhkan Ekonomi Global
Liberalisasi Kapitalis Runtuhkan Ekonomi Global
JAKARTA - Rezim kapitalis global yang dipimpin oleh Transnasional Corporation (TNC) dan Multinational Corporation (MNC) ternyata tidak mampu mengendalikan kekacauan ekonomi sebagai akibat dari tindakan mereka sendiri. Ekploitasi, akumulasi dan spekulasi telah melahirkan krisis yang menyerang jantung kapitalisme (finance sector) dan menimbulkan efek berantai keseluruh sektor ekonomi dan menyerang secara lebih keras perekonomian negara-negara miskin termasuk Indonesia.   "Masih segar dalam ingatan kita, peluncuran serangkaian kebijakan perdagangan bebas yang dibuat melalui forum negara maju (G7) dan organisasi perdagangan dunia (WTO), telah menjadi sumber penghisapan negara-negara berkembang. Kebijakan yang dipaksakan melalui tekanan hutang World Bank dan utang International Monetary Fund (IMF) yang keduanya ditugaskan untuk mendorong deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan dan liberalisasi keuangan telah menghilangkan peran negara dan kemampuan usaha-usaha nasional negara miskin untuk berkembang," tegas Bonnie Setiawan, selaku Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ), di Jakarta, Senin (3/11).   Lebih jauh, lanjutnya, liberalisasi keuangan telah menjadi dasar bagi kegiatan spekulasi baik di bursa saham maupun di pasar mata uang. Pasar keuangan derivatif  selanjutnya melahirkan praktek kapitalisasi yang sangat destruktif melalui rekayasa finansial di pasar-pasar keuangan, pelipatgandaan uang dari utang – penjaminan – penjaminan - utang yang menimbulkan penggelembungan ekonomi, “economic bubble”.   Publik baru saja menyadari bahwa ini adalah kejahatan ekonomi, ketika krisis subprime mortgage melanda ekonomi Amerika Serikat (AS). Krisis yang diawali ketika masyarakat dunia telah dipaksa melalui kampanye menyesatkan, yaitu dorongan mengkonsumsi (Propincity to Consume). Sebagai strategi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat negara-negara maju (AS) dipaksa hidup dalam hutang yang semakin membengkak, belanja besar dengan kartu kredit, kredit perumahan bernilai rendah  dan segala bentuk kosumerisme diluar batas kemampuan pendapatan yang diterima.   Akibatya terjadilah apa yang disebut krisis subprime mortgage, lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit perumahan bangkrut karena kehilangan liquiditas dikarenakan piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Sebuah praktek kriminal dalam mobilisasi uang yang menyebabkan perusahaan tersebut harus ditutup dan dinyatakan bangkrut karena tidak mampu membayar hutang yang  mengalami jatuh tempo pada waktu yang bersamaan, ungkapnya.   Efek kehancuran terus menular, dan membuka kedok praktek penggelembungan ekonomi “economic bubble” yang jahat yang dilakukan oleh para bankir dan spekulan. Akibat kebangkrutan perusahaan finansial, menyebabkan bursa keuangan utama dunia rontok. Wall Street yang selama ini dikenal dunia sebagai simbol kedigdayaan ekonomi kapitalis, menjadi luruh tak berdaya. Nama-nama besar seperti Lehman Brothers, American International Group (AIG), Merril Lynch, serta Goldman Sach rontok berguguran. "Bulan September 2008 akan dikenang dalam sejarah sebagai akhir dari sistem kapitalisme keuangan (financial capitalism). Akan tetapi krisis keuangan akan segera merambah ke sektor riel dan non-keuangan, dan akan segera menghantam seluruh perekonomian dunia tanpa kecuali," ujar Bonnie Setiawan.   Terbukalah fakta, lanjutnya, bahwa segelintir kapitalis, pemilik modal besar di bursa-bursa utama, telah menjadikan pasar spekulasi sebagai ajang untuk memobilisasi dana tidak hanya dari masyarakat, akan tetapi dari lembaga-lembaga pemberi pinjaman. Dana-dana virtual yang terakumulasi akibat spekulasi dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman modal dari lembaga-lembaga keuangan besar. Disaat lembaga-lembaga pemberi pinjaman mengalami kebangkrutan maka tampaklah para kapitalis, perusahaan perusahaan besar, para emiten di bursa-bursa utama menyelamatkan diri mereka dan menimbulkan gelombang tsunami krisis yang hebat dan panjang.   Pasar yang mereka dipropagandakan sebagai jalan kemakmuran bagi umat manusia teryata adalah penuh dengan kepalsuan dan manipulasi. Tangan tersembunyi invisible hand yang diharapkan dapat mengatur keseimbangan pasar ternyata benar-benar tidak ada. Beramai-ramai para penyokong pasar bebas berteriak minta tolong kepada Negara. Negara diminta ikut campur dalam mengatasi krisis yang mereka hadapi. Negara dimita menyuntikkan dana dalam jumlah besar untuk mempertahankan lembaga-lembaga keuangan yang bangkrut tersebut, baik dengan cara memberikan suntikan langsung kepada perbankan atau melakukan bailout.      "Padahal sebelumnya mereka, para kapitalis, fundamentalis pasar menolak segala bentuk campur tangan Negara dalam ekonomi. Regulasi dianggap sebagai distorsi, subsidi dikatakan sebagai pengganggu persaingan diantara mereka. Sekarang justru malah kapitalis mengiba-iba mengharap bantuan Negara," tegasnya.   Indonesia lebih parah lagi. Ekonomi Indonesia yang didominasi asing baik dalam kegiatan di sektor riel maupun di bursa saham, adalah negara yang akan terkena imbas paling besar dari krisis global. Ekonominya yang sangat tergantung pada pihak luar akan semakin tergerus dan terperosok ke dalam krisis. Penyebabnya, para pelaku usaha asing terutama di sektor keuangan dan di pasar spekulatif akan segera mengamankan kapital mereka ke luar.   Keadaan ini akan semakin merugikan perekonomian dan rakyat miskin di Indonesia. Rencana penyelamatan ekonomi akan dilakukan dengan menggunakan uang rakyat (keuntungan BUMN, devisa negara dan utang luar negeri) untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang bangkrut. Perusahaan-perusahaan negara, yang sebelumnya didesak untuk diprivatisasi oleh para penyokong neoliberalisme, kini malah diminta untuk kembali membeli saham-sahamnya di Bursa efek (buyback). Jika efek krisis terus menjalar maka negara akan kembali menangggung utang-utang perbankan dan perusahaan swasta, imbuhnya.   Disaat kondisi ekonomi negara semakin sulit, cadangan devisa yang terbatas, dan defisit yang besar dalam APBN, maka sumber dana dari luar negeri (utang) kembali akan menjadi solusi bagi krisis yang besar kemungkinan akan melanda Indonesia dalam waktu dekat sebagai efek berantai dari krisis global. "Lagi-lagi negara dan rakyat yang harus menanggung kerugian akibat perilaku ugal-ugalan kaum minoritas, segelintir pemilik modal."   Berangkat dari pengalaman tersebut, kini saat yang paling baik untuk mendesak dilakukannya koreksi secara fundamental atas sistem perekonomian secara menyeluruh. "Sistem perekonomian Indonesia yang sepenuhnya “good-boy” penganut Neo-Liberal, kini sudah tiba saatnya untuk dirombak total. Neo-Liberalisme sudah gagal total dan membawa malapetaka bagi Indonesia."   Sepuluh tahun semenjak krisis 1997/1998, ekonomi Indonesia tetap menganut pasar keuangan dan devisa bebas yang membuatnya tetap rentan dan ringkih. Kini kejatuhan pasar keuangan global akan kembali memukul Indonesia, bila tidak ada perombakan total. Karenanya koreksi besar-besaran terhadap sistem keuangan dan paham neo-liberal yang dianut pemerintah Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Gerakan sosial Indonesia, harus mendesak dilakukannya koreksi secara mendasar terhadap sistem ekonomi, kebijakan investasi dan sistem keuangan nasional Indonesia melalui; Regulasi yang ketat terhadap seluruh kegiatan spekulasi, baik bursa dan transaksi mata uang sebagai upaya membatasi arus keluar masuk uang panas (hot money) dan penetapan pajak tinggi terhadap segala bentuk kegiatan spekulasi di bursa saham, pasar komoditas dan pasar mata uang.   "Ke depan, segala produk keuangan spekulatif, termasuk yang bermain di komoditas pangan, serta hedge fund sebaiknya dilarang. Sistem devisa bebas dihentikan dan membenahi sistem moneter dan keuangan serta revitalisasi peran BI agar berpihak kepada ekonomi rakyat. Sistem moneter dan keuangan harus diabdikan untuk membiayai perekonomian rakyat, pertanian kecil dan upaya penghapusan kemiskinan," usulnya. Pembatasan dominasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis di dalam negeri dan mendorong penguasaan kembali oleh Negara terhadap sumber-sumber migas, energi dan mineral serta penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.   Hal yang tidak kalah penting, kata Bonnie Setiawan,perlunya peningkatan subsidi, khususnya subsidi energi dan memperluas proteksi ekonomi nasional sebagai suatu strategi Industrialisasi nasional dan pembangunan ekonomi kerakyatan serta menolak penggunaan uang rakyat untuk menjadi suntikan dana bagi perbankan yang terkena dampak krisis dan menolak bailout perusahaan yang bangkrut dengan menggunakan uang rakyat.   "Kita mengajak semua komponen bangsa ini untuk menggunakan momentum krisis ini sebagai langkah kembali pada perekonomian yang sepenuhnya konsisten dengan amanat pasal 33 dan 34 UUD 1945, yaitu perekonomian yang non-kapitalistik, menolak neo-liberalisme dan berazaskan demokrasi ekonomi dan kegotong-royongan," kata Bonnie Setiawan. (Fas/JPNN)

JAKARTA - Rezim kapitalis global yang dipimpin oleh Transnasional Corporation (TNC) dan Multinational Corporation (MNC) ternyata tidak mampu mengendalikan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News