Lili

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Lili
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diputuskan bersalah. Foto: Ricardo/JPNN.com

Akan tetapi, biaya sewa yang disodorkan Firli jauh di bawah harga normal, selisihnya mencapai Rp 140 juta. Hal ini menjadi indikasi adanya gratifikasi. Firli juga menunjukkan gaya hidup hedonis yang tidak selayaknya dipamerkan oleh seorang ketua KPK.

Dewan Pengawas tidak menganggap hal itu sebagai pelaggaran etika yang serius, dan hanya menyebutnya sebagai pelanggaran ringan. Kasus ini dilaporkan juga ke polisi tetapi tidak ada pemeriksaan terahdap Firli berkaitan dengan kasus itu.

Definisi korupsi menjadi sempit karena hanya dikaitkan dengan suap-menyuap dan aktivitas yang merugikan keuangan negara. Dalam bahasa Yunani, korupsi disebut sebagai ‘’coruptio’’ yang berarti pembusukan. 

Semua tindakan yang menyebabkan pembusukan sistem masuk dalam kategori korupsi. Tindakan-tindakan yang melanggar etika bisa masuk dalam kategori korupsi moral.

Firli menjadi sorotan lagi karena memberi penghargaan kepada istrinya sendiri yang menciptakan lagu mars KPK. Filri menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar dan tidak melanggar aturan apa pun. 

Akan tetapi, ada prinsip nepotisme yang dipertanyakan dalam kasus itu. Memberi penghargaan kepada istri sendiri sangat dipengaruhi oleh unsur subjektivitas dan potensial memunculkan nepotisme.

Beberapa waktu belakangan Firli sering mengutip salam ‘’FBI’’ dalam tulisan-tulisannya di media sosial. Hal ini memunculkan kritik dari beberapa pengamat yang menganggap Firli bermain politik. 

Di beberapa daerah, sempat muncul spanduk bertuliskan FBI, singkatan dari ‘’Firli Bahuri untuk Indonesia’’ lengkap dengan foto Firli.

Kasus Lili Pintauli membuka borok yang terjadi di KPK. KPK sudah kehilangan taji dan wajahnya sudah banyak dipermak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News