Low 100 Kilo
Oleh: Dahlan Iskan
Jembatan untuk umum itu bisa disebut jembatan masa depan. Belum ada sambungan jalan di sebelah ''sono'-nya. Tidak ada juga desa atau kota lain di ''sono''. Yang ada kebun sawit melulu.
Jalan umum itu juga dibangun oleh Bayan. Juga sepanjang 100 km. Akan diserahkan ke masyarakat juga. Letak jalan umum ini juga di sebelah jalan batu bara.
Jadi, di samping membangun ''landasan pesawat'' sepanjang 100 km, Bayan juga membangun jalan masyarakat sepanjang itu pula.
Itu melebihi Jakarta-Subang. Atau Surabaya-Malang. Hampir sama dengan Medan ke Danau Toba. Atau, ini dia: lebih panjang dari panjangnya pulau Singapura.
Tanah Singapura itu, dari pantai timur ke pantai barat hanya 50 Km. Dari utara ke selatan lebih pendek lagi: 35 km.
Jadi, masyarakat mana yang akan melewati jalan 100 km itu nanti? Bukankah hampir tidak ada penduduk di kawasan itu? Mungkin justru truk pengangkut sawit yang akan lebih banyak melewatinya. Sawit rakyat dan sawit perusahaan lain.
Dalam perjalanan itu saya ikut mobil yang dikemudikan Pak Yudiansyah. Ia asli kampung Gunungsari, di pinggir sungai Belayan. Ia sudah turun temurun tinggal di situ. Sukunya Kutai.
Ia punya kebun sawit lebih 100 hektare. Sawit itu sudah berumur 18 tahun. Sudah bisa jadi sumber penghidupan. "Sekarang orang Dayak pun sudah banyak yang punya kebun sawit," ujar Yudi.