Maaf, Ini Cinta Pelarian!
Kamis, 30 Desember 2010 – 13:54 WIB
SEPAKBOLA, ya hanya sepakbola. Tapi efeknya bisa melampaui sepakbola. Semacam postfootball, jika diambil padanannya dengan postmodernisme. Itu sebabnya, di laga Rabu, 29 Desember 2010 silam, tatkala timnas Indonesia berhadapan dengan Malaysia, ramai terdengar yel-yel, teriakan, poster, komentar di media dan Facebook, misalnya "ganyang Malaysia!" yang pernah pop di era Orde Lama pada masa konfrontasi dengan negara yang, syahdan, serumpun dengan kita. Sepakbola bisa melampaui hakikatnya sebagai olahraga belaka. Saya ingat tatkala kesebelasan Iran ikut dalam ajang Marahalim Cup pada 1980-an di Medan, mereka bagaikan mengeskpor "revolusi Iran". Pada saat pawai keliling kota, mereka pampangkan poster Ayatullah Khomeiny dalam ukuran besar. Maklum, saat itu penguasa Shah Iran baru saja ditumbangkan.
Misteri sepakbola, (ada) di situ. Sebelum laga Rabu kemarin, ada saja yang teringat kisah TKI di Malaysia yang dianiaya. Skandal lagu "Rasa Sayang E" dan "Reog Ponorogo" pun berkelebatan. Belum lagi kasus Sipadan dan Lagitan maupun Blok Ambalat, serta kisah beberapa orang pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sempat "ditahan" sejenak di sana.
Baca Juga:
Pokoknya, Indonesia harus menang. Saya menduga "misi publik" itu juga merasuk ke benak Firman, Gonzales, Irfan dan kawan-kawan. Beban mental terlalu besar. Euforia itu bak tubuh botol yang besar, sementara timnas seumpama leher botol yang kecil. Desakan-desakan dari tubuh botol terlalu dahsyat, dan mustahil semburat dari "leher" yang kecil itu.
Baca Juga: