Madinah Kabur
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Meski hotel baru itu sudah terlihat lebih modern, Anda tetap merasakan sisa-sisa tidak modernnya: wastafel buntu, air kamar mandi ke mana-mana, dan tata letak kamar mandinya yang masih asal-asalan.
Maka hotel seperti itu umurnya tidak lama. Lima tahun berikutnya Anda tidak bisa lagi menemukannya. Sudah dibongkar. Dibangun yang lebih baru.
Maka bangunan-bangunan di sekitar masjid Nabawi kini sudah mencapai selera Amerika. Tertata rapi. Pakai sistem blok.
Pertanyaan cucu saya sudah begini: hotel kita berapa blok dari gerbang 326 masjid Nabawi. Atau hotel dia berapa blok dari hotel kita. Untuk ke kafe kita harus berjalan berapa blok.
Kesimpulan saya: perubahan selera tidak bisa mendadak. Dari kumuh ke modern perlu transisi. Saya sendiri mengalami itu. Anda juga. Pun dari miskin ke kaya. Perlu lewat kelas menengah. Banyak orang yang sudah mulai kaya seleranya masih miskin --contohnya saya.
Kini Arab Saudi memasuki selera tinggi. Anda sudah tahu: Arab Saudi sudah cukup lama kaya. Tapi baru belakangan ini fasilitas umumnya world class.
Begitu pun Tiongkok. Untuk punya toilet-toilet modern seperti sekarang memerlukan tiga atau lima kali "revolusi toilet" --seleranya naik sedikit-sedikit selama 30 tahun terakhir.
Terminal bus di Saudi Arabia masih yang selera lama. Lebih jelek dari terminal bus kita. Di Makkah. Di Madinah. Di Riyadh. Di Tabuk. Di Taif. Di Buraydah. Di Yanbu. Belum ada yang bagus. Padahal itu sudah terminal-terminal baru. Stasiun bus di Riyadh, misalnya, masih ruwet sejak dari akses menuju terminal itu. Bayangkan seperti apa yang lama.