Mafia Favela Jelang World Cup 2014 dan Olympic Games 2016

Mafia Favela Jelang World Cup 2014 dan Olympic Games 2016
KUMUH: Bukit Niemeyer, tempat berkukimnya komunitas Favela di Brazil. Foto: Don Kardono/Indopos
Susah membandingkan, material pantai-pantai indah di tanah air. Senggigi Lombok misalnya, adalah pantai hebat, berpasir putih, tapi diameter butiran-butiran pasirnya lebih besar, lebih terasa kasar mengganjal di kaki. Putihnya pasir masih kelihatan mentah, bekas kerang dan biota laut laut yang tergerus ombak. Kuta Bali juga bagus, tapi tingkat “putih”-nya masih jauh, masih ada sedikit campuran cokelat. Karimunjawa juga oke, tapi tidak ada yang sepanjang 27 kilometer tanpa terpecah-pecah. Di utara Jepara itu masih tersebar di 26 pulau dan tidak menyatu.

Lagi-lagi, buat apa pantai putih sempurna seindah surga, tetapi dihantui ancaman keamanan dan rasa was-was? Sekitar delapan tahun silam ada mafia top dari Favela itu. Namanya Fernandinho Biera Mar, yang acap dipanggil Fernando. Dia tertangkap polisi saat sedang transaksi kokain dan ganja 10 ton di hutan Amazon. Orang Brazil dibuat gempar, tetapi proses hukumnya sampai sekarang pun mandek.

Penghuni Favela itu banyak yang menjadi pengedar, dan memanfaatkan transit peredaran obat-obatan dari Columbia. Mereka bersenjata, dan Brazil memang sipil boleh pegang senjata.

Ada satu pertanyaan, mengapa Favela itu tidak digusur paksa saja? Dihancurkan oleh pasukan? Jawabnya, “Senjata mereka lebih canggih dari polisi!” Inilah problem mendasar yang "laten" saat ini.

Jika Anda berada di Rio de Janeiro, sempatkan waktu ke Rocinha, “sarang Favela” paling padat, paling kumuh, dan paling seram di Brazil.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News