Makna Kepergian Gus Dur

Makna Kepergian Gus Dur
Makna Kepergian Gus Dur
Namun ketika zaman berubah, maka suara-suara demokrasi yang tadinya terkekang dan tertindih, bangkit bagai air bah. Tak satu pun yang bisa menghempang.

Api demokrasi yang menyala-nyala di balik garba dada Gus Dur pun meraih atmosfer yang luas tatkala dia mejadi Presiden RI pada 20 Oktober 1999. Lusanya, ia pun menjadikan istana negara bagai istana rakyat. Siapa saja boleh masuk, termasuk rakyat jelata yang bersandal jepit. Teman saya Kemala Atmodjo, mantan Pemred Majalah Berita Gamma, yang juga ikut Forum Demokrasi yang dipimpin oleh Gus Dur, bercerita bagaimana ia dan sastrawan Seno Gumira Adjidarma menikmati suasana istana seraya ngobrol santai tanpa protokoler birokrasi yang menyebalkan.

Gus Dur juga mencabut pemasungan kepercayaan adat, agama dan kepercayaan China pada 2000, yang dilarang di masa Soeharto sejak 1967 silam. Sejak itu, agama leluhur China dinyatakan sah sebagai agama berikut perayaannya seperti Imlek yang menjadi hari libur nasional, termasuk budaya macam barongsai dan sejenis yang kembali tampil di wajah Indonesia yang plural. Pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas juga dirasakan oleh kaum Kristiani, termasuk Budha dan Hindu.

Sejak era reformasi 1998, suara-suara yang terkekang sesungguhnya telah terdengar membahana. Menyahuti suara zaman itu, tiada jalan lain, pemerintahan BJ Habibie mengeluarkan UU Pers yang anti pembredelan dan sensor. Kewajiban SIUPP dicabut. Banyak sekali narapidana politik yang dibebaskan. Kebebasan mendirikan partai politik dibuka lebar-lebar, sehingga Indonesia mengenal sistem multipartai, seperti mengikuti maklumat Wapres Hatta di masa lalu.

"DI pintumu aku mengetuk, aku tak bisa lagi berpaling". Sebait sajak Chairil Anwar ini selalu kita ingat ketika seorang sahabat, atau tokoh,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News