Manipulasi Nilai, Antara Realitas Pendidikan dan Pencarian Kebenaran

Manipulasi Nilai, Antara Realitas Pendidikan dan Pencarian Kebenaran
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Pada 21 Desember 2024, banyak sekolah memberikan nilai rapor kepada para murid. Di hari itu, emosi bercampur aduk—ada yang senang, kecewa, bahkan curiga.

Tak jarang, muncul tudingan manipulasi nilai dalam rapor. Namun, benarkah manipulasi ini dapat diterima dalam kacamata pendidikan?

Beberapa pelaku pendidikan mungkin berdalih bahwa ini adalah realitas sosial yang tidak terhindarkan, sejalan dengan budaya "semuanya harus terlihat baik." Tetapi, apakah tujuan pendidikan hanya sekadar memenuhi ekspektasi formal semacam ini?

Dalam pandangan umum, manipulasi nilai sering dianggap sebagai strategi dalam menjaga "muka" sekolah atau menghindari tekanan dari orang tua.

Sebagaimana seorang guru senior di suatu sekolah pernah berkata, “Nilai bagus sekarang mungkin hanya sementara, tetapi mudah-mudahan anak-anak ini nanti benar-benar belajar setelah lulus.”

Pendapat tersebut seolah-olah menyiratkan bahwa nilai hanya simbol—bukan representasi sejati dari pencapaian siswa.

Sayangnya, pendekatan seperti itu menciptakan ilusi keberhasilan yang justru berbahaya. Anak-anak yang mendapatkan nilai bagus tanpa usaha nyata dapat bertumbuh dengan pemahaman keliru tentang kerja keras dan konsekuensi.

Orang tua, yang seharusnya menjadi mitra kritis dalam pendidikan, juga terjebak dalam euforia angka-angka semu.

Sistem pendidikan kita turut berkontribusi pada demam nilai tinggi ini. Dahulu, sekadar menghindari nilai merah sudah cukup membuat siswa dan orang tua lega.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News