Mantan Dubes di Tiongkok Jadi Tersangka
Pungli Kawat Rp 14,4 M
Sabtu, 11 Oktober 2008 – 11:06 WIB
![Mantan Dubes di Tiongkok Jadi Tersangka](https://cloud.jpnn.com/photo/image_not_found.jpg)
Mantan Dubes di Tiongkok Jadi Tersangka
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali mengusut dugaan korupsi di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Kali ini adalah kasus penyimpangan pemungutan biaya kawat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok. Marwan menegaskan, uang pungutan itu seharusnya masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, yang terjadi justru sebaliknya. ''Uang itu ternyata masuk untuk keperluan oknum di kedutaan,'' ungkap jaksa kelahiran Lubuk Linggau tersebut.
Tim penyidik bahkan telah mengisyaratkan Dubes RI untuk Tiongkok periode 2000-2004 sebagai tersangkanya. ''Dia adalah mantan orang kuat di Indonesia dan pernah menjadi guru besar di universitas negeri terkemuka,'' kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jumat (10/10). Seperti biasa, dia menolak menyebutkan nama lengkap tersangka tersebut.
Baca Juga:
Menurut dia, kejaksaan telah lama menyidik kasus itu. Temuan kejaksaan membeberkan bahwa KBRI Tiongkok telah menarik biaya untuk setiap pemohon visa, paspor, serta surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Nilai biaya kawat (telepon dan e-mail) tersebut 55 yuan atau USD 7 (sekitar Rp 67 ribu, kurs kemarin) per pemohon.
Baca Juga:
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali mengusut dugaan korupsi di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Kali ini adalah kasus penyimpangan
BERITA TERKAIT
- Alhamdulillah, 12.000 Paket Makanan dan Selimut dari Indonesia Tiba di Gaza
- Luncurkan Fitur Misi Tanam Pohon, Blibli Ajak Belanja Sambil Wujudkan Bumi yang Lestari
- Sekjen PDIP Singgung Ide Megawati dan Kondisi Darurat DPP
- Kemeriahan Upacara Penyambutan Presiden Turki Erdogan di Istana Bogor
- KPK Panggil Bos Asuransi Sinar Mas Indra Widjaja Terkait Dugaan Korupsi Investasi
- KPK akan Panggil Tan Paulin, Ahmad Ali, dan Japto dalam Kasus Rita Widyasari