Mary Astuti, sang Penemu yang Bangga Dijuluki Profesor Tempe

Cemas Karena Petani Sering Terpengaruh Benih Bawaan Tim Sukses

Mary Astuti, sang Penemu yang Bangga Dijuluki Profesor Tempe
Foto : Ridlwan Habib/JAWA POS
Pelan tapi pasti, tim pimpinan Mary menyuluh petani. Dia bersyukur, di Nganjuk dan Trenggalek (Jatim), petani bisa panen 2,5 ton per hektare. ’’Produksi kedelai Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara lain,’’ katanya.

Sebagai negeri penghasil tempe yang membutuhkan bahan baku kedelai, Mary berharap suatu saat produk kedelai di tanah air bisa menyusul negara produsen utama. Amerika bisa memproduksi 28,7 juta ton per tahun, Kanada (20 juta ton), dan Tiongkok (18 juta ton). ’’Indonesia hanya mampu 800 ribu ton. Padahal, total kebutuhannya 2,2 juta ton per tahun,’’ katanya.

Dengan kenyataan itu, kedelai yang ditemukan Mary dan para peneliti UGM tersebut kemudian dinamakan Malika. ’’Artinya kerajaan. Kami ingin mengembalikan kejayaan kedelai di Indonesia seperti pada masa lampau,’’ tegasnya.

Berdasar penelitiannya, kedelai masuk ke Nusantara berkat jasa para pendeta Buddha asal Tiongkok. ’’Pusatnya memang Tiongkok Utara, lalu menyebar ke mana-mana dibawa para biksu yang vegetarian. Jadi, di lokasi baru, mereka bersosialisasi dengan penduduk dan memberi alternatif makanan selain daging,’’ jelasnya.

Saat krisis finansial global tak jelas kapan ujungnya seperti sekarang, guru besar UGM Prof Dr Mary Astuti kian rajin turun ke pematang. Dia berkampanye

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News