Mas Parno
Oleh: Dahlan Iskan
Namun, Mas Parno masih ingat untuk selalu pulang ke kampungnya itu. Setidaknya setahun sekali. Untuk menemui orang tuanya –ketika masih hidup. Atau ke makam orang tua–ketika keduanya sudah meninggal dunia.
Setiap kali pulang ke kampung itu Mas Parno punya acara besar: mempraktikkan ilmu dalangnya. Ia pentas. Mas Parno memang dalang wayang kulit.
Maka rumah orang tuanya itu ia bangun dengan konstruksi beton. Dengan tiang yang tingginya sama dengan rumah empat lantai. Itu karena rumah tersebut di lereng bukit. Sulit mendapat tanah datar – pun untuk hanya seluas rumah itu.
Posisi lantai yang paling atas pun baru sejajar dengan jalan berliku di lereng gunung itu. Maka lantai teratas tersebut justru menjadi seperti lapangan kecil. Di samping sebagai atap. Luasnya kira-kira 8 x 12 meter.
Di pelataran itulah Mas Parno selalu menggelar wayang kulitnya.
Baru di bawah ''halaman'' itulah rumah bapak-ibunya. Yang untuk ke rumah itu harus menuruni perengan gunung. Lewat jalan yang berkelok.
Di bawah atap itulah tiang-tiang beton tinggi menyangga rumah itu. Tapi tiang-tiang beton itu tidak menonjol. Kalah dengan pohon-pohon tinggi di kebun sekelilingnya.
Saya tidak menyangka kampung Mas Parno seterpencil itu. Dulu, waktu saya berjanji suatu saat akan ke sana, saya pikir tidak sulit. Toh kampung kelahiran ayah saya juga di lereng utara Gunung Lawu. Sesekali saya masih ke kampung ayah saya itu: Gedangan, Jogorogo. Kapan-kapan sekalian mampir ke Poncol-nya Mas Parno.