Mas Parno

Oleh: Dahlan Iskan

Mas Parno
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Baru kemarin itu saya tahu bahwa Poncol masih satu jam bermobil dari kampung ayah saya. Dulu, saya pikir kampung ayah saya sudah yang paling terpencil. Yang untuk ke sana harus menyeberangi sungai.

Dengan cara loncat-loncat batu di sela-sela aliran air. Waktu kecil saya suka BAB di sungai itu. Dengan cara jongkok. Kaki kiri dan kaki kanan bertumpu di batu yang berbeda. Lalu mencucinya dengan air yang mengalir deras di sela batu itu.

Ternyata kampung Mas Parno lebih terpencil lagi. Sudah dekat dengan perbatasan kabupaten Karanganyar, Jateng. "Di balik bukit itu sudah Karanganyar," ujar sepupu Mas Parno sambil menuding salah satu bukit di sebelah barat kuburan.

Saya memang ke kuburan itu. Melihat lubang yang akan dipakai menyemayamkan mayat Mas Parno. Yakni di sebelah persis makam ibunya. Di bawah pohon rindang yang amat besar - -yang tidak ada yang tahu sudah berapa ratus tahun umurnya.

"Kalau Pak Manteb ke sini, ya menerabas lewat bukit itu," ujarnya.

Manteb Sudarsono adalah dalang kondang pujaan saya juga. Yang rumahnya di Karanganyar ternyata di balik bukit itu.

Bukan hanya Pak Manteb yang sudah ke Poncol-nya Mas Parno. Sudah puluhan dalang datang ke Poncol. Untuk tampil gantian, dan sesekali tampil bareng.

Pokoknya orang Poncol bangga banget pada Mas Parno. Ingin dalang siapa pun Mas Parno sanggup mendatangkan. Setiap saat selalu ada wayangan di situ.

Mas Parno juga jarang mau pidato. Semua masalah ia selesaikan dengan kerja. Dengan contoh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News