Mas Parno
Oleh: Dahlan Iskan
"Lama-lama kami mengerti kok," jawab salah satu direktur di Jambi. Saya tahu itu adalah jawaban seorang manajer yang bijaksana.
Setelah lama saya tidak menegur lagi, giliran saya kena batunya. Mas Parno mengadakan rapat pimpinan di Jambi. Saya diminta harus hadir. Dan harus menginap. Tumben. Saya pun hadir.
Ternyata malam harinya ada pertunjukan wayang kulit di kota Jambi. Saya diminta harus ''mucuk-i''. Yakni memainkan wayang di awal pertunjukan sebagai tanda pagelaran dimulai.
Saya pun mengingat-ingat bagaimana saat saya mendalang amatiran sambil menggembala kambing di sawah.
Yang wayangnya terbuat dari rumput –yang dibuat wayang-wayangan. Kami tidak mampu membeli wayang –pun hanya terbuat dari kertas.
Memainkan wayang dari rumput memerlukan imajinasi lebih tinggi. Misalnya: untuk membedakan tokoh Gatotkaca dengan Werkudara hanya dilihat dari besar kecilnya wayang-rumput.
Dan suara percakapannya nanti. Bahkan untuk sosok raksasa tidak bisa lagi dibuat dari rumput. Kami menggunakan saja daun kluwih. Daunnya lebar dan panjang. Tangkai daunnya kuat, bisa dipegang untuk memainkannya.
Rupanya Mas Parno tahu, di balik teguran-teguran saya itu saya sendiri penggemar wayang kulit. Dulu saya punya ratusan kaset wayang kulit dengan dalang Ki Narto Sabdo.
Pernah, saya, tiap malam harus setir mobil sendirian Surabaya-Magetan. Berhari-hari. Ketika ayah saya sakit. Narto Sabdo-lah yang menemani saya sepanjang perjalanan. Pulang-pergi.