Masjid

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Masjid
Kubah Masjid Al Azhar, Jakarta saat gerhana bulan beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

Pemilahan yang dilakukan antropologis Clifford Geertz bisa menerangkan hal itu.

Geertz memisahkan masyarakat Indonesia dalam tiga kategori santri, priayi, dan abangan. Secara sederhana, santri adalah "muslim yang punya masjid" dan priayi bersama abangan adalah "muslim tanpa masjid".

Abangan dan priayi dikategorikan sebagai muslim nominal, atau dengan julukan yang pejoratif disebut sebagai "Islam KTP", karena dalam identitasnya menyebut beragama Islam, tetapi tidak benar-benar menjalankan syariah, apalagi menjadi pendukung Islam politik.

Cara beragama kalangan priayi dan abangan ini eklektik, campur baur antara ajaran Islam dengan tradisi Hindu dan Buddha.

Mereka melaksanakan salat, tetapi tetap menjalankan ritual Hindu dan Buddha dan membungkusnya sebagai aktivitas budaya.

Kalangan ini jumlahnya bisa sampai 70 persen atau lebih dari total muslim di Indonesia. Secara matematis seharusnya parta-partai Islam menjadi mayoritas dalam lanskap politik Indonesia. Tetapi, dalam praktiknya partai-partai Islam tidak pernah bisa memenangi pemilihan umum nasional di Indonesia.

Pada pemilu demokratis pertama 1955 di masa Orde Lama, gabungan partai-partai dan organisasi Islam yang bernaung di bawah partai Masyumi, tidak bisa mengungguli Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didukung kalangan abangan.

PNI menjadi juara nasional disusul oleh Masyumi dan PKI (Partai Komunis Indonesia). PNI dan PKI mempunyai irisan yang hampir sama, karena pendukung PKI pun secara formal menyebut agamanya Islam.

Al-Azhar dianggap sebagai simbol masjid umat, dan Istiqlal adalah masjid simbol negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News