Masyarakat Sipil Sebut Hak Leniensi yang Dimiliki Kejaksaan Tidak Jelas

Masyarakat Sipil Sebut Hak Leniensi yang Dimiliki Kejaksaan Tidak Jelas
Ilustrasi Kejaksaan Agung. Foto: ANTARA: Asprilla Dwi Adha

jpnn.com, JAKARTA - Kewenangan berlebih yang tertuang dalam UU No 11/2021 tentang Kejaksaan mendapat sorotan dari masyarakat sipil. Selain hak imunitas kejaksaan yang kontroversial, mantan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu juga mempersoalkan hak leniensi kejaksaan. Hak leniensi ini adalah untuk menuntut ringan pelaku pidana.

“Limitasinya tidak jelas, dan menjadi rentan penyelewengan,” kata Edwin dalam acara Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di Hotel Horison Kamis (23/1) siang.

“Dalam rancangan perubahan UU Kejaksaan ini, batasnya makin kabur,” sambung dia.

Dia kemudian mencontohkan kasus Pinangki Sirna Malasari, pegawai Kejaksaan Agung yang sempat viral karena menemui buron kakap kasus perbankan, Djoko Tjandra.

“Jabatannya cuma Kasubag Pemantauan dan Evaluasi loh. Di bawah kepala biro. Pertemuan itu sulit dielakkan ada restu pimpinan, setidaknya atas sepengetahuan. Kita tidak tahu, kan,” ucapnya.

Namun, nyatanya Kejaksaan hanya menuntutnya empat tahun dan denda Rp 500 juta. Edwin menyebut bahwa ini menunjukkan komitmen yang lemah terhadap praktek korup di tubuh kejaksaan itu sendiri.

Selain itu, Edwin juga menyebut sejumlah contoh kasus lainnya. Menunjukkan fenomena no viral no justice.

“Kita pernah dengar ada kasus Valencia alias Nensyl, yang diproses karena memarahi suaminya yang mabuk. Kejaksaan sempat menuntutnya satu tahun, tetapi karena viral, kemudian tuntutannya menjadi bebas,” terangnya.

Masyarakat sipil menyoroti dan menilai hak leniensi yang dimiliki oleh kejaksaan tidak jelas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News