Mata Jitu
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Ada tiga bendungan kecil yang menciptakan tiga kolam besar. Terlihat tujuh bule mandi dan bercanda di kolam air terjun ini.
Seindah-indahnya Mata Jitu, kami hanya satu jam di situ. Takut keburu azan Magrib. Kami sudah siap dengan menu buka puasa seadanya. Kami tahu desa ini begitu terpencil.
Ternyata kami semua bahagia: mendapat menu lokal yang tidak kami duga. Ikan tongkol disayur seperti pindang. Lalu sayur terong dimasak asam-asam. Ada pula ikan kembung bakar dan sambal. Inilah salah satu menu terlezat sepanjang bulan puasa. Apalagi ote-otenya: istimewa. Jadi rebutan.
Saking enaknya sore itu kami sampai berpesan: untuk makan sahur minta menu yang sama. Jangan lupa: ote-otenya diperbanyak. Dua kali lipatnya. Itulah sahur terakhir di bulan puasa lalu.
Masakan Sumbawa?
Benar. Tapi sudah dimodifikasi. Sudah tercampur dengan selera Bima. Penduduk desa ini 100 persen suku Bima –kota di bagian timur Pulau Sumbawa. Bahasa mereka pun bahasa Bima.
Setidaknya kami lega: sudah pernah ke Pulau Moyo. Cucu-cucu harus lebih banyak melihat Indonesia apa adanya.(*)
Komentar perusuh Heru Santoso kemarin benar, tetapi telat. Seharusnya dia berkomentar sebulan lalu. Agar saya tidak perlu ke Pulau Moyo.
Redaktur : Tim Redaksi
Reporter : Tim Redaksi