Mate Ningde
Oleh: Dahlan Iskan
Awalnya saya berpikir: bagaimana orang zaman dulu bisa keluar dari Xianyou untuk merantau sampai Nusantara. Betapa jauh perjalanan keluar dari gunung-gunung ini. Betapa sulit perjalanan itu.
Lalu: bagaimana orang dulu bisa hidup dari alam seperti ini. Maka wajar kalau mereka merantau, apalagi zaman itu bebas: tidak ada batas negara, bahkan yang disebut negara pun belum ada.
Tidak perlu paspor. Tidak perlu visa. Tidak perlu KTP. Di mana ada bumi di situ bebas dipijak.
Saya teringat begitu banyak teman saya di Surabaya yang keturunan Xianyou. Mereka punya paguyuban Xianyou. Sampai ada yang rebutan jadi pengurus.
Jalan tol Fuzhou-Xianyou ini luar biasa. Bagaimana ada jalan di pegunungan tetapi relatif lurus. Tidak terlalu belok-belok. Tidak naik turun. Yang tinggi diterobos terowongan, yang rendah dibangun jembatan.
Pun tidak ada lereng gunung yang dikepras. Tidak ada jalan yang melingkar dengan cara memotong tebing. Kalau toh harus di pinggir tebing dibuatkan jalan layang di tebing itu.
Kota kecamatan Xianyou begitu beruntung. Dilewati jalan tol. Lebarnya pun tiga lajur.
Tentu kota Xianyou di sela-sela gunung. Di sehampar ngarai yang tidak luas. Tetapi banyak sekali bangunan pencakar langitnya. Mengalahkan kota besar sekelas Makassar.