Mate Ningde

Oleh: Dahlan Iskan

Mate Ningde
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya mampir pula ke kota lamanya. Di pinggir sungai. Kanan-kiri sungai sudah dibangun taman. Banyak yang bermain di situ. Ada taman olahraganya pula.

Lalu saya ke toilet umum di taman itu. Saya pede. Pasti sudah tidak seperti toilet masa lalu, apalagi toilet ini kelihatannya dibangun bersamaan dengan pembangunan taman.

Saya kaget: toilet ini memang tidak lagi jorok, tetapi bau busuknya masih luar biasa. Mengingatkan saya pada bau toilet Tiongkok 30 tahun lalu. Hampir saja pingsan.

Ternyata masih ada yang seperti ini. Mungkin karena Xianyou di pedalaman. Dan ini toilet umum.

Besoknya ketika perjalanan dari Fuzhou ke Quanzhou saya minta mampir rest area. Bukan karena ingin buang air, tetapi sekadar membanding-bandingkan baunya.

Saya kaget: bukan saja bersih dan tanpa bau. Juga indah dan cukup mewah. Toiletnya pun dua jenis: jongkok dan duduk.

Di Xianyou saya jalan-jalan di kota lamanya. Yang sudah berbentuk blok-blok ruko yang padat. Saya beli buah di situ: anggur, buah tin kering, zaitun segar, apel mini, dan strawberry.

Di depan toko buah ini ada penjual tebu lonjoran. Di pinggir jalan. Laris. Harganya bukan per batang tapi pakai ditimbang. Bayarnya pakai barcode.

Rasanya HP lama yang sudah remuk di empat pojoknya ini digugat ke MK saja. Tetapi di kota-kota di empat provinsi itu jawabnya sama: stok habis.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News