Matinya Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Matinya Demokrasi
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Pemilihan umum sudah diputuskan, masa jabatan kepresidenan sudah ditetapkan dalam konstitusi. Namun, diktator partikelir bisa memainkan kekuasaannya untuk mengubah aturan itu demi memperpanjang kekuasaannya. Penolakan dan komitmen yang lemah terhadap aturan demokrasi ini menjadi indikator utama matinya demokrasi.

Beberapa pertanyaan bisa diajukan untuk melihat kecenderungan ini. Apakah ada upaya menolak perundang-undangan atau menunjukkan keinginan untuk melanggarnya. Apakah ada usulan atau gerakan antidemokrasi seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan undang-undang, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak-hak sipil dan politik?

Di Indonesia jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlihat makin nyata. Pelanggaran terhadap undang-undang terjadi, upaya untuk menunda pemilu sudah mulai diorkestrasi, dan pelarangan terhadap organisasi tertentu dan pembatasan terhadap hak-hak sipil sudah terjadi.

Faktor lain yang menjadi indikasi adalah ‘’Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media’’, melakukan pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan-lawan politik, termasuk media.

Kasus-kasus pembebasan kebebasan sipil sudah banyak terjadi. Penangkapan dan penahanan dengan dalih yang dibuat-buat sudah terjadi di beberapa kasus. Pemakaian kekerasan terhadap lawan politik juga sudah terjadi. Pembunuhan Kilometer 50 menjadi salah satu indikator adanya penggunaan kekerasan yang didukung oleh kekuatan kekuasaan.

Tradisi demokrasi Amerika melahirkan contoh-contoh yang agung yang layak dicontoh. Salah satunya adalah ‘’the power of forebearnce’’ atau kekuatan untuk menahan diri. Politik yang identik dengan perebutan kekuasaan akan membawa seseorang untuk bernafsu mengakumulasi kekuasaan selama mungkin.

Selalu saja ada godaan untuk berkuasa lebih lama ketika kesempatan itu ada atau memungkinkan. Vladimir Putin di Rusia menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menahan diri. Keinginan untuk berkuasa lebih lama, dengan berbagai alasan, membuat Putin berupaya memanipulasi undang-undang untuk mendukung ambisi politiknya.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mulai menujukkan gelagat ingin menambah masa jabatannya melebihi periode yang sudah diatur oleh konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi itu bisa ditutupi dengan melakukan amendemen terhadap konstitusi yang memungkinkannya berkuasa lebih lama.

Penolakan dan komitmen yang lemah terhadap aturan demokrasi ini menjadi indikator utama matinya demokrasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News