Media yang Punah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Media yang Punah
Saat ini banyak platform digital dan jenis media sosial yang bisa dimanfaatkan untuk mendapat informasi. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Dalam kasus Brigadir J, media mainstream dianggap gagal mengungkap peristiwa yang sesungguhnya. 

Tradisi investigasi yang menjadi puncak capaian jurnalistik belum menjadi tradisi di Indonesia. Inilah yang membuat audiens berpaling kepada media sosial sebagai sumber informasi.

Media sosial, tidak pelak, telah menjadi pesaing utama yang menggerus kepercayaan publik terhadap media mainstream. 

Wartawan senior Knight Ridder,  Hal Jurgenmeyer mengatakan bahwa persaingan media sekarang sudah melebar jauh dari sekadar persaingan informasi.  

“We were not in the news business, not even in the information business. We were in the influence business.” Jurgenmeyer berpendapat bahwa kita tidak lagi berada dalam bisnis pemberitaan, tidak juga dalam bisnis informasi. Kita semua berenang dalam pusaran bisnis pengaruh.

Media memiliki dua jenis pengaruh. Pertama, pengaruh sosial yang tidak bisa diperjualbelikan. Kedua, pengaruh komersial atas keputusan konsumen untuk membeli sebundel koran.

Pengaruh sosial berbanding lurus dengan pengaruh komersial. Bukankah media yang berpengaruh memiliki pembaca setia. Sehingga ini otomatis menarik para pemasang iklan yang menghasilkan iklan.

Jurnalisme yang berkualitas akan menarik pemasang iklan. Begitu tesis sederhana Jurgenmeyr. Akan tetapi, kenyataannya tidak seindah bayangan. Di era digital sekarang ini, iklan tidak dihasilkan oleh karya jurnalistik yang cemerlang, tetapi ditentukan oleh mekanisme mesin algoritma. 

Kehadiran media sosial akan menjadi ancaman paling serius. Media cetak sudah hampir pasti punah, dan nasib media digital pun ada di ujung tanduk.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News